Keuntungan Founder dan Investor: Dividen vs Capital Gain

Keuntungan Founder dan Investor
Keuangan

Setiap saya membagikan artikel tentang startup Indonesia seperti Gojek atau Tokopedia di media sosial, selalu ada yang berkomentar bahwa perusahaan-perusahaan ini belum untung. Secara implisit menyampaikan bahwa para unicorn tersebut bukanlah perusahaan yang baik. Di sisi lain, Artikel ‘Cara Menghitung Pembagian Saham Usaha’ di Arkademi hingga saat ini telah mengundang trafik lebih dari 200.000 pembaca dan menduduki peringkat pertama mesin pencari dengan kata kunci ‘cara menghitung saham’.

Seiring dengan tumbuhnya entrepreneurship atau kewirausahaan di Indonesia maka diperlukan peningkatan wawasan tentang investasi, distribusinya, dan cara mendapatkan keuntungan atas investasi tersebut. Karena investasi adalah hal yang hampir tak terelakkan dalam kewirausahaan ketika sebuah usaha bersiap untuk berkembang dalam skala lebih besar.

Nah, pertanyaan utama yang hendak dijawab dalam artikel ini adalah: bagaimana cara pemegang/pemilik saham (founder dan investor) dalam sebuah perusahaan mendapatkan keuntungan?

DIVIDEN

Motif utama orang atau pihak yang berinvestasi dalam sebuah perusahaan adalah untuk mencari kentungan finansial. Titik. Ini hukum besi. Kalau tidak untuk mencari keuntungan finansial, namanya donasi. Tujuan bisnis adalah mendistribusikan keuntungan untuk meningkatkan kekayaan pemodalnya.

Keuntungan atas hasil investasi biasa disebut Investment Income atau pendapatan atas investasi. Secara sederhana investment income dibagi menjadi 2:

  1. Dividen
  2. Capital gain

Dividen biasa juga disebut sebagai laba usaha atau operating profit yang dibagikan kepada para pihak yang berhak atas dividen tersebut. Operating profit adalah sejumlah uang yang didapatkan oleh perusahaan dari operasionalnya. Misal dalam setahun untung bersih dari penjualan senilai Rp 1 miliar, maka itulah operating profit atau laba usahanya. Tiap tahun pemegang saham akan rapat menentukan berapa besar operating profit yang akan dibagikan sebagai dividen dan berapa yang ditahan.

Yang memiliki hak atas dividen adalah pemegang saham. Dividen umumnya dibagikan setiap akhir tahun ketika perusahaan tutup buku tahunan.

Dalam bahasa umum dividen biasa disebut sebagai ‘bagi hasil’ atau ‘bagi keuntungan’. Dividen adalah jenis investment income atau penghasilan atas investasi paling dikenal serta menjadi motif utama dalam kewirausahaan dan investasi. Ingat bahwa orang berinvestasi untuk cari untung, bukan cari rugi.

Orang yang berinvestasi pada sebuah perusahaan pada prinsipnya adalah untuk mendapatkan hak atas dividen. Karena begitu ia berinvestasi, maka ia berhak atas sejumlah saham. Ketika ia memiliki saham, maka ia berhak atas dividen (bagi hasil atau bagi keuntungan).

Begitu alurnya. Hal ini terjadi pada setiap usaha; baik perusahaan tertutup maupun perusahaan terbuka (Tbk) yang telah melepas saham kepada publik di bursa.

Bagaimana kalau perusahaan belum untung atau belum menciptakan operating profit? Ya tidak ada uang yang bisa dibagikan kepada para pemegang saham.

CAPITAL GAIN

Capital gain adalah jenis investment income yang belum banyak dipahami orang awam. Padahal, capital gain adalah investment income yang sangat umum terjadi sehari-hari di sekitar kita. Karena itu saya akan mencontohkan lewat ilustrasi paling sederhana.

Anda beli sebuah rumah seharga Rp 1 miliar di tahun 2010. Kemudian anda sewakan rumah itu seharga Rp 200 juta untuk jangka waktu 5 tahun. Tahun 2015 ketika sewa berakhir, harga properti naik. Anda berhasil jual rumah itu seharga Rp 2 miliar.

Dengan demikian, investment income anda di tahun 2015 adalah:

  • Operating profit: Rp 200 juta (sewa 5 tahun)
  • Capital gain: Rp 1 miliar (harga jual – harga beli)
  • TOTAL: Rp 1,2 miliar.

Jadi, operating profit adalah keuntungan yang anda dapatkan sebagai hasil mengutilisasi aset modal berupa rumah seharga Rp 1 miliar.

Sedangkan capital gain adalah keuntungan yang didapatkan dari penjualan aset modal (rumah Rp 1 miliar tadi) dimana harga jual lebih besar daripada harga beli (investasi).

Kenapa orang lain bersedia membeli rumah yang awalnya dulu anda beli Rp 1 miliar seharga Rp 2 miliar?

Karena si pembeli yakin bahwa rumah tersebut bisa memberikan investment income di masa depan. Baik lewat operating profit maupun capital gain. Misal, ia menyewakan rumah itu tahun 2015-2020 senilai Rp 400 juta dan menjualnya di tahun 2020 seharga Rp 4 miliar. Maka ia mendapatkan investment income senilai Rp 2,4 miliar di tahun 2020 dari operating profit dan capital gain.

NAIKNYA NILAI HAK ATAS DIVIDEN (SAHAM)

Menggunakan ilustrasi usaha properti seperti di atas saya rasa adalah cara paling sederhana dan mudah dimengerti dalam menjelaskan tentang capital gain di dalam sebuah perusahaan. Karena harga properti cenderung selalu naik sehingga ada capital gain. Sama halnya dengan perusahaan yang selalu diproyeksikan dan diupayakan untuk terus berkembang dan operating profitnya terus naik. Otomatis dividen naik.

Ketika dividen atau pontensi masa depan dividen naik, maka hak atas dividen itu juga ikut naik nilainya. Hak atas dividen adalah saham.

Artinya, semakin baik dividen atau potensi dividen sebuah perusahaan, maka nilai saham perusahaan tersebut di mata pembeli juga akan naik alias makin mahal. Karena investment income atas saham tersebut (berupa dividen dan capital gain) makin menarik.

Saya mencontohkan Apple. Pada tutup buku 1987 Apple membagikan dividen $ 0,2 per lembar saham. Harga pasar saham Apple di Januari 1987 adalah $ 0,72/lembar. Pembelian saham umumnya dilakukan per lot bukan per lembar. 1 lot 1.000 lembar (di Indonesia 1 lot = 100 lembar). Bila seorang investor Januari 1987 membeli saham Apple seharga $ 720/lot, maka di akhir tahun ia akan mendapatkan dividen $ 200. Rugi? Iya.

Tahun 2018, Apple membagi dividen sebesar $ 2.82/lembar saham. Sehingga, si investor tadi akan mendapatkan dividen senilai $ 2.820 (ditambah dividen yang dibagikan tahun-tahun sebelumnya). Si investor untung dari dividen Tapi apakah hanya ‘sekecil’ itu keuntungan si investor tadi? Tidak.

Tahun 1987, saham Apple harganya $ 0,2/lembar. Hari ini harga saham Apple $ 198/lembar. Bila investor tadi menjual (cash out) seluruh sahamnya di bursa, maka ia mendapatkan uang $198.000/lot. Padahal tahun 1987 ia membeli hanya seharga $ 720.

Tapi di sini mulai terlihat janggal: bila tujuan investasi paling umum adalah mencari dividen, mengapa hari ini orang mau membeli saham Apple seharga $198 sementara dividen yang diberikan hanya $ 2,82?

LABA DITAHAN DAN LABA DIBAGIKAN

Kalau dilihat contoh Apple di atas dari aspek capital gain membeli saham Apple tentu menguntungkan. Tapi tidak dari sisi dividen.

Saya beri ilustrasi lain. Bila anda punya usaha warung makan bermodal Rp 50 juta yang kemudian memberikan laba bersih setahun Rp 100 juta, apakah anda akan gunakan semua laba bersih itu untuk kepentingan pribadi di luar usaha? Tentu tidak. Anda pasti akan menyisihkannya untuk ditanamkan lagi ke dalam usaha sebagai modal untuk pengembangan bisnis di tahun berikutnya. Istilahnya ‘diputar lagi’. Misalnya Rp 80 juta disisihkan untuk usaha, Rp 20 juta anda ambil untuk pribadi. Rp 80 juta itu disebut sebagai Laba Ditahan, dan Rp 20 juta itu disebut dividen.

Mengapa perlu ada laba ditahan? Karena untuk menciptakan laba lebih besar diperlukan modal lebih banyak. Modal itu salah satunya berasal dari laba tahun buku sebelumnya. Bila di tahun pertama modal warung anda Rp 50 juta dan bisa menghasilkan laba bersih Rp 100 juta, di tahun kedua anda punya modal Rp 130 juta (50+80) yang tentunya akan memberikan laba bersih lebih banyak daripada Rp 100 juta. Bila laba bersih anda banyak maka potensi dividen yang diberikan akan lebih besar.

Sama juga dengan Apple, mustahil operating profit mereka dibagikan semuanya menjadi dividen. Karena Apple perlu berkembang untuk bisa menciptakan operating profit lebih besar lagi. Bahkan mungkin dividen yang dibagikan rasionya kecil dibanding laba ditahan. Namun dengan membesarnya operating profit, otomatis dividen juga membesar. Bahkan rasio dividen terhadap operating profit bisa dinaikkan oleh rapat umum pemegang saham (RUPS).

Mari kita kembali ke contoh Apple tadi.

Tahun 1987 investor membeli (berinvestasi pada) saham Apple seharga $ 720/lot (1 lot = 1.000 lembar). Berdasarkan data Apple, dividen yang dibagikan (per lot) adalah: $200 (1987), $340 (1988), $410 (1989). Total dalam 3 tahun sejumlah $910. Artinya, si investor tadi sudah ‘cuan’ $190 di tahun ketiga dari dividen saham Apple yang dibelinya 3 tahun lalu.

Bila di tahun 1989 itu ia hendak menjual saham Apple yang dimilikinya tersebut, harga pada tahun itu senilai $1.63/lembar atau $1.630/lot. Artinya, bila cash out (penjualan saham) dilakukan di akhir 1989, si investor mendapatkan $ 910 (dividen) + $ 1.630 (cash out) atau total $ 2.540. Bila dikurangkan dengan harga beli saham $720/lot di awal, si investor untung total $ 1.820. Bahkan bila 1987-1989 Apple tak membagi dividen, investor sudah untung $ 910 dari capital gain.

MEMBAGI PER LEMBAR SAHAM

Dividen selalu dibagi per lembar saham, bukan persen-persenan berapa saham yang seseorang miliki. Istilah ‘persen’ ini umum digunakan untuk menerangkan seberapa banyak kepemilikan seseorang dalam sebuah perusahaan. Misalnya ‘punya 20% saham’, ‘50% saham’, dst. Menggunakan istilah persen seperti ini kelak akan menyulitkan bila perusahaan menerbitkan saham-saham baru untuk mendapatkan pemodalan baru. Karena komposisi pasti akan berubah.

Misal di perusahaan anda terdapat 1.000 lembar saham dan anda memiliki 200 lembar. Bila anda dan pemegang saham lain menentukan total dividen yang dibagi adalah Rp 1 miliar, maka per lembar saham akan mendapatkan dividen Rp 1 miliar / 1.000 atau Rp 1 juta/lembar. Karena anda memiliki 200 lembar saham, maka anda berhak atas dividen Rp 1 juta x 200 lembar atau sama dengan Rp 200 juta.

NILAI BUKU, NILAI PASAR, DAN AGIO

Valuasi Gojek saat ini Rp 145 triliun dan Tokopedia Rp 100 triliun. Apakah valuasi atau nilai ini mencerminkan nilai saham yang sebenarnya?

Untuk menjawab ini kita harus paham lebih dulu tentang Nilai Buku dan Nilai Pasar sebuah saham.

Dalam akta pendirian perusahaan dan/atau akta perubahan serta pengesahannya oleh pemerintah, selalu tercantum komponen berikut: modal dasar, modal ditempatkan, modal disetor, harga per saham. Harga saham yang tercantum dalam akta perusahaan adalah nilai buku.

Nilai buku saham adalah nilai ekuitas perusahaan dibagi jumlah saham yang berbedar. Misal, anda dan seorang teman menyetorkan modal total Rp 100 juta saat mendirikan PT — yang kemudian dalam akta disebut sebagai Modal Disetor. Itulah ekuitas. Saat didirikan, PT anda menerbitkan 1.000 lembar saham. Artinya, harga saham yang tercatat dalam akta adalah Rp 100.000/lembar. Bila tidak ada intangible asset, maka modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor. Dalam pembukuan akan dicatat sebagai modal saham.

Harga saham Rp 100.000/lembar yang tercatat dalam akta — dan berdasarkan pembukuan — itulah yang disebut dengan Nilai Buku saham (Book Value per Share). Nilai ini harus riil dan ada uangnya.

Kemudian di tahun kedua anda mencari modal tambahan untuk pengembangan bisnis. Perlu Rp 1 miliar. Untuk modal atau investasi tambahan ini anda akan menerbitkan 200 lembar saham baru (right issue). Sehingga harga per lembar saham yang akan ditawarkan ke investor baru adalah Rp 5.000.000/lembar (Rp 1 miliar/200 lembar).

Bila si investor baru mau membeli di harga ini, maka harga itu disebut Nilai Pasar saham (Market Value per Share). Yakni harga yang diterima oleh pembeli atas penawaran sebuah saham.

Lalu, ketika harga pasar menjadi Rp 5 juta/lembar, bagaimana dengan pencatatan dalam akta dan pembukuan keuangan? Karena kalau Rp 5 juta dicantumkan sebagai harga saham dalam akta (yang sebelumnya seharga Rp 100 ribu) maka akan terjadi selisih pada Modal Disetor dan ekuitas dalam pembukuan.

Pada titik ini kita menggunakan Agio saham. Agio Saham adalah selisih lebih setoran pemegang saham di atas nilai nominal saham tersebut.

Harga saham dalam akta tidak bisa serta-merta dinaikkan dari Rp 100.000/lembar menjadi Rp 5 juta/lembar. Kalau diubah, anda dan teman anda yang memiliki 1.000 lembar saham seharga Rp 100.000/lembar tentu harus melakukan penyetoran modal lagi. Karena dengan total 1.200 lembar saham (ditambah penerbitan baru untuk investor baru) dengan harga Rp 5 juta/lembar, maka modal disetor dan ekuitas senilai Rp 6 miliar. Padahal total modal yang disetor dulu dan sekarang hanya Rp 1,1 miliar.

Kalau anda tetap meletakkan harga Rp5 juta/lembar pada akta, maka akan terjadi selisih pada ekuitas di pembukuan. Padahal, nilai pada akta harus berdasarkan pada pembukuan. Bukan sebaliknya. Selain itu, untuk pengesahan akta perubahan oleh pemerintah diperlukan bukti setoran modal ke rekening perusahaan — dimana anda tak bisa membuktikan adanya setoran senilai Rp 6 miliar.

Sehingga, acuan awalnya adalah harga buku saham yang tertera pada akta yakni Rp 100 ribu/lembar. Selisih Rp 4,9 juta dimasukkan ke dalam agio.

Begini perhitungannya:

MODAL SEBELUMNYA:
Rp 100 juta

MODAL TAMBAHAN:
Rp 100.000 (harga buku saham) x 200 lembar saham baru
= Rp 20 juta

TOTAL MODAL TERBARU (MODAL SAHAM):
Modal sebelumnya + Modal tambahan
= Rp 100 juta + 20 juta
= Rp 120 juta

AGIO SAHAM:
Jumlah saham baru yang diterbitkan x selisih harga buku dan harga jual saham (harga pasar)
= 200 x Rp 4,9 juta
= Rp 980 juta

EKUITAS:
Total modal terbaru + Agio saham
= Rp 120 juta + Rp 980 juta =
= Rp 1,1 miliar

Nah, pas kan uangnya Rp 1,1 miliar?

Nilai pada ekuitas Rp 1,1 miliar ini adalah Modal Disetor yang dicatatkan dalam akta perubahan, sekaligus sebagai Modal Dasar dan Modal Ditempatkan.

Lalu bagaimana dengan harga saham di akta perubahan?

Rp 1,1 miliar / 1.200 lembar saham = Rp 916 ribu.

Maka, nilai buku saham perusahaan anda yang tercatat dalam akta naik dari sebelumnya Rp 100.000/lembar menjadi Rp 916.000/lembar.

Mungkin anda bertanya: “Kalau begitu investor baru rugi dong? Dia kan beli saham Rp 5 juta/lembar, kenapa kok cuma tertulis Rp 916.000/lembar?”

Rp 916.000 itu nilai buku. Rp 5 juta adalah nilai pasar. Ingat bahwa anda membeli saham sama dengan membeli hak atas dividen. Harga atas hak dividen tersebut nilainya tidak tetap, disesuaikan dengan perkembangan dan proyeksi masa depan sebuah perusahaan. Di pasar bursa nilai pasar sebuah saham naik-turun tiap hari. Bukan berarti nilai buku perusahaan di bursa tersebut berganti juga tiap hari, kan?

Misal anda membeli saham Apple hari ini $198/lembar atau saham Bank Mandiri Rp 7.320/lembar, apakah itu adalah harga buku saham Apple atau Bank Mandiri yang tercatat dalam akta perusahaan mereka? Jelas tidak. Nilai buku saham Apple atau Bank Mandiri jelas lebih rendah dibandingkan Harga pasar.

Jadi, ketika kita mendengar valuasi Gojek Rp 145 triliun, itu adalah nilai pasar atau biasa disebut VALUASI atau MARKET CAP. Yakni harga terakhir per lembar saham yang diterima oleh investor terbaru dikalikan jumlah total saham yang diterbitkan. Bukan nilai buku saham yang tercatat dalam akta atau pembukuan usaha mereka. Kalau anda ingin beli perusahaan Gojek hari ini maka minimal harus punya uang Rp 145 triliun itu.

Dalam contoh kasus di atas, ketika anda kelak ingin menjual saham pribadi anda (cash out), maka harga acuan terendah yang anda tawarkan menggunakan nilai pasar Rp 5 juta/lembar (atau lebih), bukan nilai buku Rp 918 ribu/lembar.

[vc_btn title=”KALKULATOR NILAI USAHA. GRATIS!” color=”warning” align=”center” button_block=”true” link=”url:https%3A%2F%2Farkademi.com%2Fmenghitung-nilai-usaha%2F||target:%20_blank|”]

GELEMBUNG

Ingat bahwa setiap investor membeli saham untuk mendapatkan hak atas dividen di masa depan. Mereka berani bayar mahal (dimana harga pasar saham tersebut terus naik) karena yakin perusahaan tersebut kelak mampu memberikan dividen yang baik di masa mendatang. Investasi selalu soal masa depan yang diukur menggunakan performa usaha yang ada pada saat ini dan keyakinan akan masa depan. Tidak masalah saat ini usaha tersebut masih rugi. Tapi si investor yakin kelak perusahaan bisa menghasilkan profit dan memberikan dividen menarik.

Tapi masa depan tidak ada yang tahu. Apakah perusahaan tersebut benar-benar bisa menciptakan profit dan membagi dividen di masa depan sesuai harapan atau tidak?

Pada pertengahan 90-an terjadi eforia dotcom dimana perusahaan-perusahaan baru berbasis internet menawarkan saham mereka ke publik. Masyarakat Amerika begitu optimistis bahwa internet akan menjadi ekonomi baru di dunia dan berbondong-bondong membeli saham perusahaan berbasis internet. Tingginya antusiasme ini membuat harga saham perusahaan internet melambung sangat tinggi. Sampai akhirnya terkuak satu demi satu bahwa perusahaan internet tersebut tidak dikelola dengan baik, tidak prudent, dan tanpa pondasi usaha yang kokoh. Ditambah lagi dengan begitu cepatnya lahir teknologi-teknologi baru yang men-disrupt teknologi atau model bisnis perusahaan internet sebelumnya. Perusahaan rugi dan tutup sebelum mampu menciptakan profit. Investasi amat besar (gelembung) yang digelontorkan investor dan masyarakat (lewat bursa) menguap begitu saja.

Dunia, khususnya pelaku usaha berbasis teknologi dan investor, telah belajar banyak dari fenomena dotcom bubble tersebut. Bahwa setiap usaha apapun jenisnya tetap membutuhkan pondasi yang kokoh, kompetensi pada pengelolaan, dan memenuhi prinsip kehati-hatian.

***

Dunia berubah dan menciptakan efek ke semua hal: skala usaha, perilaku konsumen, persaingan, hingga teknologi yang dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi. Kita tak mungkin hanya menggunakan cara-cara lama yang dipakai oleh kakek-nenek atau ayah-ibu kita dalam berbisnis, berkompetisi, dan memenangkan pasar. Karena kita hidup di dunia yang berbeda dengan mereka. Oleh sebab itu kita memerlukan wawasan dan kecakapan baru yang disesuaikan dengan kondisi dunia kita saat ini.

Wawasan dan kecakapan pengelolaan investasi mutlak diperlukan oleh para wirausahawan modern. Karena kita hidup pada era persaingan yang amat keras dan akselerasi bisa dilakukan dalam kecepatan yang menakjubkan. Kecepatan mengembangkan usaha menjadi kunci agar bisnis bisa tetap survive dan unggul. Belum lagi ancaman munculnya teknologi dan business model baru. Kalah cepat bisa berarti mati.  Prinsipnya: Grow fast or die slow.

Sementara, pengembangan yang diakselerasi selalu memerlukan uang atau modal yang tidak bisa dipenuhi oleh founder seorang diri. Ia memerlukan kontribusi atau investasi pihak lain. Namun sebelum seorang founder meyakinkan orang lain untuk berkontribusi, ia harus lebih dulu menguasai keterampilan dalam merancang, mengeksekusi, dan mengelola investasi — sebuah disiplin ilmu yang tidak mainstream. Secara akademik, pengetahuan ini baru diberikan kepada para mahasiswa S-2 Master Business Administration (MBA) atau Magister Manajemen (MM) dalam mata kuliah Manajemen Investasi.

Tapi inilah keajaiban internet. Tanpa harus kuliah MBA atau MM pun sekarang anda sudah mengetahui dasar-dasar investasi melalui tulisan ini. (*)