Menguji Celah Ilmu Pengetahuan

Teknologi

Salah satu missing link dan celah terbesar dalam ilmu pengetahuan adalah bagaimana sebuah ilmu pengetahuan digunakan untuk memecahkan masalah nyata di dunia nyata untuk manusia nyata. Di zaman inflasi informasi seperti sekarang, manusia mengetahui begitu banyak hal. Bahkan tahu yang tak perlu diketahui sekalipun. Namun, sesuatu yang kita tahu itu tidak ada manfaatnya bila tak digunakan untuk memecahkan masalah nyata, minimal untuk diri sendiri.

Setiap agen ilmu pengetahuan seperti guru, dosen, mentor, atau instruktur, pasti berharap peserta didik dapat mempraktekkan ilmunya di dunia nyata. Tapi ada celah besar antara ‘Tahu’dan ‘Bisa’– yang ditunjukkan lewat praktek/implementasi. Kemampuan kita pada ‘Bisa’ lebih banyak karena tacit knowledge: pengetahuan yang didapatkan berdasarkan pengalaman. Kita menyebutnya keterampilan. Di sisi lain, keterampilan ditentukan berdasarkan pengalaman, sehingga mustahil kita bisa dapatkan tanpa praktek lebih dulu. Keterampilan itu selalu terpaut dengan kemampuan seseorang memecahkan masalah yang dihadapinya. Sementara, pengalaman dan masalah tiap orang berbeda.

Bila keterampilan itu diukur lewat kemampuan seseorang memecahkan masalah, bagaimana cara memindahkan sebagian ‘Terampil’ ini ke dalam celah antara ‘Tahu’ dan ‘Bisa’?

Karena bila seseorang sudah ‘Terampil’ terlebih dulu (dalam tingkat tertentu), ia akan lebih mudah dan cepat tiba di area ‘Bisa’ dan menjadi makin terampil di dunia nyata. Beberapa bulan terakhir saya bergelut dalam pertanyaan ini.

‘BERPERANG’ SEBELUM BERPERANG

Lalu saya membayangkan dunia militer. Kita anggap setiap prajurit di dunia ini tugasnya untuk berperang. Prajurit di masa-masa pendidikan diajarkan cara menggunakan senjata, memasang ranjau, mengatur strategi, mengelola logistik dll. Dengan demikian prajurit ‘Tahu’ cara berperang. Tapi apakah harus ada perang dulu untuk mengetahui seorang prajurit ‘Bisa’ berperang? Celaka namanya.

Namun tiap prajurit harus ‘Bisa’ berperang bila ada perang. ‘Terampil’ dalam berperang hanya bisa didapatkan dalam dalam peperangan — yang dihindari semua orang. Lalu, bagaimana cara memindahkan sebagian ‘Terampil’ itu di masa damai untuk mengisi celah antara ‘Tahu’ dan ‘Bisa’? Berlatih!

Masa-masa damai digunakan oleh prajurit untuk berlatih mengasah pengetahuan dan kemampuannya. Karena tak ada perang betulan, maka diciptakanlah skenario perang untuk berlatih. Skenario ini diciptakan semirip mungkin dengan perang nyata atau yang mungkin terjadi. Mulai dari gerilya, perang kota, merebut basis musuh, propaganda, intelijen, hingga cara bertahan sebagai tawanan perang. Dengan menghadirkan skenario perang sebelum terjadi perang, maka prajurit diharapkan sudah terampil lebih dulu sebelum perang terjadi. Prajurit dilatih untuk terampil memecahkan masalah sebelum masalah itu datang. Mereka dilatih untuk ‘Bisa’.

MENGUJI HIPOTESIS

Dari fenomena di atas, saya membuat hipotesis: celah antara ‘Tahu’ dan ‘Bisa’ dalam pengetahuan mesti diisi oleh ‘Terampil’ dalam memecahkan masalah nyata dengan berbagai skenario dunia nyata.

Hipotesis inilah yang sedang saya uji lewat Arkademi yang saya rilis versi awalnya pada Rabu kemarin, 18 Oktober 2017. Karena Arkademi adalah social learning platform kewirausahaan, maka ‘Kurusetra’ kita adalah dunia perdagangan, terutama skala kecil dan menengah.

Hipotesis ini juga lahir dari kegundahan saya setelah mengikuti banyak kursus online bersertifikasi. Antara lain Google Ad Academy, Coursera, Udemy, hingga Hubspot. Yang membawakan kursus adalah universitas terkenal dunia seperti The Wharton School, Ludwig Maxmilians University, University of California, hingga IE Business School. Saat ini saya memiliki 30 sertifikat lebih dari institusi di atas. Tapi — tanpa mengecilkan kebesaran nama-nama institusi di atas — ketika saya mencoba mempraktekkan apa yang sudah diajarkan untuk kebutuhan saya sendiri, saya sangat kesulitan. Mungkin karena saya bukan orang pandai. Tapi bahkan orang yang tidak pandai seperti saya pun mesti dibantu.

Kesulitan itu utamanya terjadi karena apa yang diajarkan menggunakan skenario ideal. Tapi hidup kita tidak ideal. Dan tak ada sebuah rencana yang selalu bisa mengikuti skenario ideal. Saya tak diajarkan cara untuk menggunakan pengetahuan itu sesuai dengan hal nyata yang saya hadapi, atau setidaknya yang mirip. Akhirnya saya hanya ‘Tahu’ saja. Tidak lebih. Bagi saya sekedar ‘Tahu’ tidak ada gunanya. Masalah ini yang hendak saya selesaikan di Arkademi.

Nilai Arkademi tak hanya terletak pada ‘WHAT’ (apa) yang diajarkan, tapi juga ‘HOW’ (bagaimana). Soal ‘What’, Arkademi akan fokus pada pengajaran kewirausahaan kecil dan menengah, bahkan untuk calon wirausahawan, dalam memulai dan mengembangkan usaha. Saya percaya bahwa makin banyak wirausahawan, makin baik pula dunia ini. Sementara masa-masa awal memulai usaha adalah masa yang kritis dan rentan. Saya ingin agar Arkademi bisa membantu mereka dalam menghadapi dunia yang menawarkan begitu banyak peluang sekaligus VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity).

‘HOW’ pada Arkademi terletak pada bagaimana sesuatu itu diajarkan. Arkademi akan menggunakan pendekatan ‘militer’ di atas. Peserta akan dilatih untuk memecahkan masalah nyata dengan berbagai skenario dunia nyata. Keterampilan itu yang hendak ditanamkan bahkan sebelum masalah itu datang. Diharapkan, keterampilan dalam memecahkan masalah dapat membuat peserta Arkademi makin percaya diri dan mantap dalam memulai dan mengembangkan usahanya.

Menghadirkan pengalaman (exprience) untuk memenuhi hal di atas bukan hal mudah buat saya. Apalagi saya bukan guru atau pendidik profesional. Tak pernah belajar teori soal pendidikan. Kalau Arkademi ditentang pendidik profesional, saya tak persiapkan bantahan apapun. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seorang pembelajar awam yang merasakan masalah dalam metode pendidikan dan mencoba untuk memecahkannya secara mandiri. Saya hanya orang biasa yang ingin membantu orang lain dalam belajar kewirausahaan.

Menghadirkan ‘HOW’ itu memerlukan pendekatan baru pada konten. Saya tak bisa menggunakan pendekatan mainstream seperti hanya konten video atau text block. Harus benar-benar baru. Karena itu, di kelas perdana Arkademi dengan tema Menguji Ide, Produk, dan Pasar, bentuk konten yang saya pilih adalah jalan cerita mengalir dan interaktif. Peserta diminta untuk membantu seorang karakter fiksi memulai usaha kecilnya di bidang kuliner. Mirip permainan petualangan. Di tiap seri disajikan berbagai kuis skenario dunia nyata. Lewat konten story telling dan kuis real world scenario itu saya menguji pendekatan baru dalam ‘HOW’.

BELAJAR DARI SESAMA

Ada nasehat begini: tiap peristiwa adalah ilmu, tiap tempat adalah sekolah, tiap orang adalah guru. Nasehat ini melahirkan hipotesis baru bagi saya. Yakni menguji ‘WHO’ (siapa) dalam dunia pembelajaran.

Benar bahwa ‘Tiap orang adalah guru’, terlebih di era keterhubungan seperti saat ini. Kita bisa belajar dari siapapun. Saya bisa tahu dan belajar banyak dari teman-teman saya di Facebook atau blog crowd source. Para guru-murid ini — mungkin kita sendiri adalah guru di mata orang lain — perlu mendapatkan ruang untuk memberikan dan mendapatkan pengetahuan lebih baik agi. Mereka sampai saat ini berkumpul di tempat-tempat dengan penuh keterbatasan seperti grup Facebook atau grup WA/Telegram. FB atau WA adalah communication based platform dengan fungsi yang generik (umum). Banyak limitasi dalam memberikan pengalaman pembelajaran yang baik untuk output yang lebih maksimal. Misal membuat kuis, memberikan tugas, atau membuat pembahasan spesifik mengenai tema tertentu melalui forum. Masalah ini akan diselesaikan oleh Arkademi sebagai social learning platform yang memiliki skalabilitas sangat tinggi dalam mengembangkan teknologi dan fitur-fitur yang diperlukan untuk menciptakan cara pembelajaran yang lebih baik.

Arkademi adalah platform atau ruang tempat bertemunya pengajar dan peserta didik. Yang keduanya bisa siapapun. Berbeda dengan massive open online course (MOOC) lain yang para mentor umumnya adalah dosen atau profesional high profile. Tapi tidak dengan Arkademi. Siapapun yang berniat menjadi pengajar kewirausahaan atau hal-hal yang berkaitan dengan itu (keterampilan tertentu, misal membuat kue), sangat boleh membuka kelasnya sendiri. Pengajar juga bisa memanfaatkan Arkademi untuk kepentingan ekonominya dengan cara menarik iuran dari peserta didik. Gratis pun apalagi, sangat boleh. Arkademi saya lahirkan dengan niat untuk membantu orang lain, bukan untuk membuat diri saya sendiri kaya raya (dan saya bukan orang kaya).

Jadi, bila seseorang saat ini bisa menciptakan kesejahteraannya lewat perdagangan barang secara online, harusnya begitu juga dengan jasa pendidikan. Siapapun yang merasa bisa jadi pendidik dan pengajar karena pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan kebijaksanaan mereka, bisa menciptakan kesejahteraan dari sana. Arkademi menciptakan ruang itu. Seberapa bagus seorang mentor yang menentukan adalah peserta didik sendiri lewat rating, ulasan, dan berapa orang peserta yang bergabung ke kelasnya.

Dengan demikian, Arkademi berada pada two sided market, atau pasar dua sisi. Kekuatannya terletak crowd (kerumunan), yakni pada mentor dan peserta didik, atau stake holder lain. Arkademi akan menjalankan tugas dan fungsinya sebagai network orchestrator.

***

Dunia ini adalah taman bermain bagi mereka yang terampil. Lewat Arkademi, saya hendak ikut ambil bagian dengan mengirimkan lebih banyak orang ke taman itu. Arka adalah cahaya atau matahari dalam bahasa Sansakerta. Semoga Arkademi bisa membawa terang bagi banyak orang. (*)

[vc_btn title=”DAFTAR. DAPAT GRATIS 4 KELAS” color=”danger” align=”center” css_animation=”flipInX” button_block=”true” link=”url:%23login|||” el_class=”logintrig”]