Saat perusahaan melakukan pembayaran sesuatu kepada pihak di luar negeri bagaimanakah aspek perpajakannya?
Secara sederhana pertanyaan tersebut akan terkait dengan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Untuk PPh akan sangat erat kaitannya dengan kewajiban pemotongan PPh Pasal 26, sedangkan untuk PPN akan terkait erat dengan PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar daerah pabean.
Untuk pengenaan aspek PPN akan lebih sederhana acuannya, yaitu apakah pembayaran tersebut dilakukan atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP. Jika iya, maka akan terutang PPN. Jika tidak, maka tidak akan terutang PPN. Contoh pembayaran atas jasa manajemen ke luar negeri akan dikenakan PPN sedangkan untuk pembayaran bunga tidak akan menjadi objek pengenaan PPN.
Namun jika kita bahas aspek PPh maka akan sedikit lebih rumit. Secara garis besar ada 2 hal yang harus diperhatikan dan dipenuhi yaitu terkait hal substansi transaksinya dan berikutnya terkait sisi kelengkapan administrasi.
Pertama, terkait substansi transaksi, secara sederhana pemajakan pada transaksi seperti ini hanya akan ada 2 kemungkinan. Yaitu: dipajaki di negara domisili penerima penghasilan atau dengan kata lain dilakukan pemotongan 0% di negara sumber penghasilan, atau dipajaki di negara sumber penghasilan dengan ataupun tanpa batas tarif pengenaan.
Kedua kemungkinan tersebut akan dilihat berdasarkan jenis penghasilannya. Misalnya apakah pembayaran yang dilakukan masuk kategori jenis penghasilan royalti, dividen, bunga, atau atas keuntungan usaha. Dari jenis-jenis penghasilan tersebut akan diputuskan apakah akan dipajaki di negara domisili ataukah juga dipajaki di negara sumber. Keputusan tersebut akan mengacu pada tax treaty antara kedua negara.
[course id=”20950″]Kedua, terkait dengan administrasinya, jika suatu pihak di luar negeri telah mengaku menjadi subjek pajak di negara tertentu maka pengakuan tersebut harus dibuktikan dengan adanya surat keterangan dari otoritas pajak setempat. Misalnya dapat berupa Certificate of Domicile (CoD) atau sejenisnya. Selanjutnya pihak pemberi penghasilan yang berada di Indonesia juga harus menyampaikan dokumen tersebut disertai dengan pengisian formulir e-SKD.
e-SKD adalah kepanjangan dari electronic Surat Ketrangan Domisili. Surat Keterangan Domisili adalah surat keterangan berupa formulir yang diisi oleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) dan disahkan oleh pejabat yang berwenang dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B dalam rangka penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Nah, e-SKD adalah aplikasi yang digunakan untuk menyampaikan SKD WPLN dengan cara melakukan perekaman data SKD berdasar pada form DGT sebagaimana diatur pada PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
e-SKD dirancang dan dikembangkan berdasarkan PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Tujuannya adalah untuk mendukung pembuatan data bukti pemotongan PPh Pasal 26 secara elektronik yang valid dan akurat, serta memudahkan Wajib Pajak dalam melakukan administrasi SKD WPLN.
Akhirnya jika kondisi dan persyaratan yang terkait dengan poin di atas dapat dipenuhi maka sangat mungkin bahwa pembayaran ke luar negeri cukup dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 0%. (*)
[vc_btn title=”DAFTAR. DAPAT GRATIS 8 KELAS” color=”danger” align=”center” button_block=”true” link=”url:%23login|||” el_class=”logintrig”]