Mengapa Startup Indonesia Kalah

arkademi blog mengapa startup indonesia kalah
BisnisTeknologi

Di balik market yang begitu luas dan menggiurkan, tech startup di Indonesia mesti menghadapi berbagai kesulitan yang kompleks dan dalam. Sendirian. Menghadapi gempuran tech startup luar yang memiliki bantuan amunisi dari pemerintah negara mereka. Hasilnya adalah: Grab, Shopee, Lazada, Garena, Bigo, MyRepublic, Ninja Xpress, iFlix, Carsome, dst.

Berikut ini adalah sebagian kisah di balik itu.

Senin 24 September lalu Arkademi melakukan pertemuan dengan 3 petinggi Asian Development Bank (ADB) di Singapura. Pertemuan ini difasilitasi oleh Amazon Web Service (AWS) dimana Arkademi tergabung menjadi anggota inkubator AWS Edstart Asia Pacific. Pertemuan dengan ADB itu dihadiri oleh 4 startup termasuk Arkademi. Yang lain berasal dari Singapura, Australia, dan Jepang.

arkademi kompas amazon web service aws edstart public sector summit 2019 singapore
CEO/Founder Arkademi Hilman Fajrian (tengah) bersama edtech startup dari Singapura dan Australia sebagai panelis dalam AWS Public Sector Summit 2019 di Singapore International Convention and Exhibition Center. (KOMPAS/RYAN RINALDY)

 

Inti pertemuan ini adalah: ADB berniat memberikan grant (hibah/donor) kepada para edtech startup tersebut karena dianggap telah membantu mengatasi masalah akses pendidikan di Asia Pasifik dan negara mereka masing-masing.

Wow! Tentu saja wow! Apalagi jumlah yang disebutkan besar. Makin wow! Mereka juga sangat tertarik ketika Arkademi menjelaskan bahwa misi kami bukan hanya pada akses pendidikan, tapi langsung pada unemployment rate atau membantu menurunkan tingkat pengangguran di Indonesia karena kami fokus pada pendidikan vokasi. ADB juga ikut wow!

Tapi kata orang Jawa ‘Ojo Gumunan’. Jangan cepat terpukau.

ADB menjelaskan skema pemberian grant mereka adalah melalui pemerintah negara masing-masing. Dimana ADB memberi pinjaman kepada negara dan meminta agar pinjaman itu dialokasikan sebagian sebagai grant pemerintah kepada beberapa pihak. Salah satunya edtech startup. Kami-kami ini. Semua founder startup lain di ruangan itu langsung senyum lebar. Kecuali saya.

Setiap orang di negara saya, Indonesia, sudah hapal betul soal rumitnya birokrasi di negeri ini. Jangankan hibah. Untuk layanan dasar saja alangkah lama dan ruwetnya. Apalagi grant. Bukan rahasia lagi bahwa hibah pemerintah itu banyak berhubungan dengan aspek politik dan janji kampanye. Jadi, saya tak punya alasan tersenyum.

Usai pertemuan, saya bicara dengan teman-teman founder lain yang hadir di pertemuan itu. Yang dari Singapura contohnya. Ia bilang startup-nya dapat bantuan hibah dari pemerintah Singapura. Beberapa kali pula! Apply satu kali, tidak sampai dua bulan hibah yang cukup besar dicairkan. Padahal startup-nya hanya berbasis di Singapura, ‘jualannya’ di China. Yang seperti itu pun diurusi oleh pemerintah setempat. Sama halnya kawan founder dari Australia. Dapat hibah juga dari pemerintahnya dalam waktu singkat. Berkali-kali. Jualannya di Amerika.

Ini kisah-kisah yang terlalu indah bagi Arkademi dan startup lain di Indonesia: hibah dari negara. Karena yang terlalu indah biasanya tidak realistis. Karena itu tidak perlu ngotot atau repot-repot. Bagi startup di Indonesia, ‘tidak diganggu’ saja sudah terima kasih. Bisa bertahan di dalam market saja sudah sangat berat. Tidak perlu ditambahi drama lagi.

Tapi kegiatan saya 3 hari di Singapura bertemu dengan para founder edtech startup Asia Pasifik, venture capital, ADB, dan AWS, membuat semua fenomena yang selama ini kita rasakan jadi makin masuk akal: mengapa startup kita kalah bersaing dan impor layanan teknologi Indonesia kian membesar.

Founder edtech yang saya temui mayoritas berasal dari Singapura, Australia, Malaysia, Thailand, dan Jepang. Hampir semua dari mereka tidak ada yang berjualan di negaranya sendiri. Alasannya solid: market negara mereka kecil. Kalau mau besar mereka harus penetrasi ke negara lain. Indonesia salah satu yang paling seksi sebagai negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia. Hal ini dikonfirmasi oleh venture capital (VC) rekanan AWS yang mengatakan startup Asia Pasifik harus go-global, karena lokal (negara) mereka kecil. Kecuali Indonesia.

Kalau dihubungkan dengan hibah negara tadi, negara-negara Asia Pasifik lain sangat membantu startup mereka — yang berjualan di luar negeri — untuk berkembang dan melakukan penetrasi pasar. Salah satunya ke Indonesia. Sedangkan di dalam negeri startup kita tak punya daya apapun untuk membentengi diri. Mungkin satu-satunya hal berharga yang dimiliki oleh startup domestik adalah pengetahuan akan perilaku market lokal.

Kisah saya ini harusnya membuat semuanya masuk akal. Begitu banyak tech startup Asia Pasifik yang sukses menpenetrasi market Indonesia dan jadi pemain dominan. Inilah deretan nama dari Singapura: Grab, Shopee, Lazada, Garena , Bigo, MyRepublic, Ninja Xpress. Belum lagi ditambah dari Malaysia dan Australia: iFlix, Carsome, Freelancer, Canva, hingga iPrice.

[course id=”27492″]

Memang tak ada satupun startup — sebagai layaknya perusahaan yang sehat — yang boleh menggantungkan diri dari hibah. Termasuk hibah negara. Karena hibah bukan business model yang berkelanjutan. Dan tentu saja hibah negara bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan apakah sebuah tech startup menjadi sukses atau tidak. Masih banyak faktor lainnya.

Namun penyebab utama sebuah usaha rintisan tak memiliki ketahanan untuk berada cukup lama di market adalah kehabisan uang. Sumberdaya mereka yang terbatas terkuras sangat banyak untuk pengembangan produk serta menjalankan product-market fit. Bukan karena ‘bakar uang’. Boro-boro bakar uang, wong uang untuk operasional saja pas-pasan. Kurva pasti berada di bawah titik nol. Pada tahapan ini ini ketersediaan likuiditas menjadi sangat penting. Bantuan apapun akan jadi sangat berharga. Termasuk hibah.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengiba. Karena kebijakan negara tidak mungkin berubah hanya karena sebuah tulisan. Tidak juga dimaksudkan untuk mengeluh. Karena mengeluh tidak akan mengubah apapun. Tulisan ini dimaksudkan menjadi sebuah wawasan untuk mencerna mengapa sebuah fenomena terjadi: salah satu faktor lemahnya daya saing tech startup Indonesia dan meningkatnya impor teknologi. Agar pelaku startup Indonesia makin menyadari apa yang tidak kita miliki — dan karenanya tak perlu berharap banyak untuk itu. Supaya kita makin kuat menempa diri dalam persaingan yang keras, sendirian, dan ‘tidak setara’.

Terlalu berlebihan bagi tech startup Indonesia mengharapkan bantuan negara untuk meningkatkan daya saing di pasar domestik, apalagi pasar luar negeri. Bagi kita, tidak diganggu saja sudah cukup.(*)

[vc_btn title=”DAFTAR. DAPAT GRATIS 5 KELAS” color=”danger” align=”center” button_block=”true” link=”url:%23login|||” el_class=”logintrig”]