Investasi Usaha: Berapa Bagi Hasilnya?

BisnisIOSKewirausahaan

Beberapa minggu belakangan saya bicara dengan lebih dari 20 calon investor individu yang menyatakan minatnya menanamkan modal di perusahaan Arkademi. Saya bersyukur berkesempatan menjalaninya dan belajar dari segala tantangannya.

Saya mempelajari beberapa kesamaan dari para calon investor individu. Pertanyaannya mirip: “Bagaimana/berapa bagi hasilnya?”

Bagi saya ini adalah pertanyaan menantang. Sama sekali bukan karena saya tidak bisa menjawabnya. Tapi bagaimana saya bisa memberikan jawaban yang pas dan mudah dipahami calon investor yang terbiasa berinvestasi pada entitas bisnis konservatif (biasa disebut brick and mortar business).

Contohnya begini. Saya ingin buka warung bakso. Butuh modal Rp 10 juta. Anda memodali saya Rp 10 juta itu. Kesepakatannya kita berdua akan bagi hasil dari laba penjualan tiap bulan. Misalnya 50%-50%. Sebagai pendiri dan pengelola warung, saya menargetkan laba Rp 2 juta/bulan. Artinya anda dapat Rp 1 juta tiap bulan. Di bulan ke-10 anda balik modal (BEP). Di bulan ke-11 dst anda akan menikmati peningkatan kekayaan dari modal tersebut.

Selesai dan sederhana.

Tapi sayangnya berjualan produk inovasi tidak seperti berjualan bakso. Semua orang tahu apa itu bakso. Hampir semua orang pernah membeli dan makan bakso. Tapi kalau misal kita berinovasi menciptakan makanan baru bernama ‘Bagas’ yang sebelumnya tidak pernah ada, menjualnya tidak akan semudah bakso. Karena tidak ada orang yang tahu apa itu Bagas. Meski tahu pun tidak lantas orang bersedia membeli Bagas.

Sehingga, cara menjual Bagas mestinya berbeda dengan cara menjual bakso. Cara mengelola usaha Bagas juga beda dengan cara mengelola usaha bakso. Cashflow usaha Bagas beda dengan cashflow usaha bakso.

Sifat sebuah bisnis ditentukan oleh produknya. Rancangan pengelolaan usaha dinamakan model bisnis. Model bisnis akan berdampak langsung pada cara pengelolaan keuangan usaha. Keuangan usaha bertautan langsung dengan kapan dan seberapa besar pemilik modal mendapatkan keuntungan.

Singkatnya, bakso adalah produk yang proven (terbukti), Bagas belum. Untuk menjadikannya proven, Bagas perlu waktu dan strategi berbeda. Sehingga justru janggal apabila penjual Bagas menggunakan model bisnis, rencana keuangan, dan rencana usaha bakso.

Inilah tantangan saya. Menemukan cara terbaik meyakinkan calon investor bahwa Arkademi menjual ‘Bagas’, bukan ‘bakso’. Mustahil Arkademi bisa menjanjikan dan mendistribusikan keuntungan tiap bulan kepada pemilik modal seperti layaknya usaha restoran, mini market, bengkel, toko baju dll. Yang perlu saya lakukan adalah menyajikan proyeksi usaha tiap tahun, kapan dan berapa laba tersentuh, bagaimana cara mencapai itu, dan berapa imbal hasil yang didapatkan oleh para pemodal dari dividen serta nilai usaha berdasarkan jumlah lembar saham yang mereka miliki.

SAHAM YANG ASING

Menjelaskan soal kepemilikan usaha lewat jumlah saham juga tidak mudah. Karena bisnis konservatif biasanya hanya dimiliki individu dalam jumlah terbatas. Misalnya hanya oleh 2 atau 3 orang pemilik modal yang namanya tercantum dalam akta pendirian usaha. Dan tidak berubah-ubah lagi. Yang artinya tidak ada penambahan dan pemilik modal baru.

Mengapa hal ini mungkin dalam bisnis konservatif?

Karena bisnis konservatif yang menjual produk proven (terbukti, umum) bisa dengan relatif cepat menghasilkan laba. Mungkin hanya dalam hitungan bulan atau 1 tahun. Setelah itu usaha ditutup pun mungkin tidak masalah karena pemilik modal sudah mendapatkan laba. Bila modal diibaratkan bekal nafas bagi seorang pelari, bisnis konservatif berada pada arena sprint atau jarak menengah. Sehingga bekal nafas yang dibutuhkan cenderung tidak banyak.

Tapi bisnis inovasi mustahil bisa berlomba di lapangan sprint. Mereka ada di arena marathon yang membutuhkan nafas besar dan berkesinambungan. Karena garis finish-nya (laba) lebih jauh.

Mengumpulkan nafas ini tidak bisa hanya dari 2-3 orang. Ketika ada banyak penanam modal, maka satu-satunya cara untuk membagikan porsi kepemilikan adalah melalui lembar saham.

Bisnis inovasi yang wajib marathon setidaknya minimal 3 tahun, juga hampir mustahil menggalang dana investasi 1 kali saja. Mereka harus menggalang investasi berkali-kali untuk memastikan perusahaan memiliki ‘nafas’ atau ‘darah’ yang cukup untuk tiba di garis finish dan menciptakan laba lebih besar.

Gojek contohnya. Saat ini memiliki 22 investor dan menggalang investasi 6 kali (ronde). Tokopedia 8 investor dan 8 ronde. Traveloka 6 investor 4 ronde. Facebook 24 investor dan 13 ronde.

PERTUMBUHAN EKSPONENSIAL

Kemudian investor bertanya: Kenapa saya harus menanamkan modal pada sebuah bisnis inovasi yang lama untungnya dibandingkan bisnis konservatif yang cepat labanya?

Jawabannya: karena potensi keuntungan yang bisa dihasilkan dari yang ‘lama’ itu sangat besar. Jauh lebih besar dibandingkan yang ‘cepat’. Inilah imbalan atas kesabaran.

Produk teknologi informasi memiliki sifat yang unik. Ia bisa diciptakan dengan biaya duplikasi (cost to duplicate) amat rendah namun didistribusikan tanpa batas. Sifat inilah yang menciptakan kedahsyatan: pertumbuhan eksponensial.

Biaya produksi 1 unit produk teknologi informasi, misalnya, sama dengan biaya produksi 10.000 unit. Jadi menjual 1 atau 10.000 unit biayanya sama. Hal inilah yang tidak dimiliki bisnis konservatif dimana biaya duplikasi linear/segaris dengan volume produksi. Tidak mungkin kita bisa menjual 10.000 mangkuk bakso dengan biaya produksi hanya 1 mangkuk bakso. Menjual 10.000 mangkuk biayanya juga 10.000 mangkuk.

Begitu juga dengan kemampuannya menjangkau pasar. Produk teknologi informasi bisa melayani siapapun yang memiliki akses internet tak peduli dimana lokasinya. Tanpa harus membangun infrastruktur di lokasi tersebut. Hal ini dinamakan skalabilitas atau kemampuan usaha memperluas ukuran usahanya. Bisnis konservatif tak mungkin melakukan ini. Seorang penjual bakso harus menyewa tempat, membeli peralatan, dan mempekerjakan karyawan setiap hendak membuka cabang baru.

INVESTASI UNTUK ORANG YANG TEPAT

Setiap orang itu unik. Tidak semua orang cocok berinvestasi. Tidak ada investor yang cocok dengan semua bidang investasi. Investasi sebagai upaya meningkatkan kekayaan masa depan mewajibkan kita menaksir seberapa besar risiko yang bersedia kita tanggung dan urgensi untuk mendapatkan keuntungan itu. Imbalan yang kita dapatkan di masa depan tak hanya berdasarkan kemampuan kita menaksir risiko dan urgensi itu. Tapi juga kemampuan mengukur potensi sebuah bisnis dan kemampuan pengelolanya dimana kekayaan kita diletakkan.

Yang pasti, masa depan hanya milik orang-orang yang berani.(*)