Begini Cara Founder Startup Kaya Raya

Cara Founder Startup Kaya Raya
Bisnis

Startup adalah dongeng modern. Seorang anak muda jelata dengan sebuah laptop menjadi kaya raya dalam waktu sekejap dan mengubah dunia.

Beberapa waktu belakangan ini muncul berita tentang komposisi dan jumlah saham di unicorn Indonesia. Seperti Gojek dan Tokopedia. Dari perhitungan saya, Nadiem Gojek memiliki kekayaan Rp 6,4 triliun lewat 58.416 lembar sahamnya dengan valuasi usaha $ 9 miliar. William Tokopedia kekayaan sahamnya Rp 5,8 triliun dengan 546.000 lembar saham dan valuasi usaha $ 7 miliar.

Mungkin anda baru bisa sebatas tergiur dengan kekayaan itu. Namun bagaimana kekayaan sebesar itu bisa tercipta dalam waktu relatif singkat, adalah hal yang asing. Berikut ini adalah cara di balik itu yang saya ungkapkan lewat ilustrasi sebuah usaha tech startup.

KEKAYAAN DARI ‘KETIADAAN’

Anda memulai sebuah project membuat produk teknologi, anggaplah sebuah situs layanan e-commerce. Anda punya mitra kerja dalam project tersebut bernama Budi yang kemudian menjadi co-founder. Sampai tahap ini anda belum punya startup — karena startup merujuk pada perusahaan berbadan hukum berusia di bawah 5 tahun. Jadi masih sebatas project.

Produk tersebut anda luncurkan ke internet. Ternyata mendapat perhatian yang baik dari pasar dan berhasil menciptakan penjualan. Produknya juga sudah mulus tidak ada error yang berarti. Anda ingin produk tersebut berkembang dengan cepat. Karenanya anda butuh uang. Untuk mempekerjakan pegawai programmer, marketing, membeli alat, hingga menyewa kantor. Perusahaan juga sudah harus dibentuk. Anda dan Budi tak punya uang. Maka anda mulai mencari investor.

Anda berencana datang ke 3 orang kaya yang anda kenal dan menawarkan mereka berinvestasi di perusahaan yang akan anda bentuk. Namun sebelum datang ke mereka, anda harus menentukan dulu: invest berapa, dapat berapa persen.

Masalahnya bicara ‘persen’ ini tidak mudah bagi mereka yang belum kenal dunia finansial perseroan. Disebut ‘perseroan’ karena satu-satunya bentuk perusahaan yang mungkin anda bentuk adalah Perseroan Terbatas (PT) karena didirikan oleh beberapa orang. Sementara bukti kepemilikan dalam perseroan dibuktikan dalam bentuk saham yang jumlah dan dana setoran atas saham tersebut tercatat dalam akta perusahaan.

Maka untuk awalnya anda dan Budi akan menentukan lebih dulu nilai usaha anda — ingat, perusahaan belum dibentuk. Anggaplah Rp 1 miliar. Atau gunakan kalkulator valuasi usaha dari Arkademi. Dari Rp 1 miliar tersebut kalian menerbitkan 100.000 lembar saham. Artinya, nilai per lembar saham adalah Rp 1 miliar / 100.000 atau Rp 10.000/lembar. Kalian bagi dua sama rata: Anda dapat 50.000 lembar, Budi 50.000 lembar. Sampai di sini, baik anda dan Anda punya kekayaan dalam bentuk saham (masih imajiner karena perusahaan belum terbentuk) senilai Rp 500 juta. Masing-masing dari kalian memiliki prosentase kepemilikan usaha 50%-50%.

Nah, sebelum pergi ke investor, anda menentukan dulu: berapa besar uang investasi yang anda perlukan? Anggaplah Rp 1 miliar tunai.

Lalu pertanyaan berikut: dengan Rp 1 miliar tunai, berapa lembar saham yang akan anda berikan kepada investor?

Anggaplah anda akan memberikan 25% saham perusahaan. Artinya, anda akan menerbitkan 25% lembar saham baru dari 100.000 lembar saham yang sudah ada sebelumnya. Artinya akan terbit 25.000 lembar saham baru. Hal ini dinamakan Right Issue. Uang yang didapatkan dari right issued atau penjualan lembar saham baru akan masuk ke kas perusahaan sebagai modal kerja.

Bila Rp 1 miliar investasi tunai mendapatkan 25.000 lembar saham baru, maka harga per lembar saham adalah Rp 1 miliar / 25.000 lembar atau Rp 40.000/lembar. Maka inilah harga yang akan anda tawarkan kepada investor: Rp 40.000/lembar saham dengan penawaran total 25.000 lembar saham.

Perusahaan pada umumnya menawarkan saham menggunakan ukuran Lot. 1 lot sama dengan 100 lembar. Berarti total lot yang anda tawarkan adalah 250 lot. Harga per lot Rp 40 juta. Lalu anda tetapkan minimal pembelian 50 lot (5.000 lembar saham) atau Rp 200 juta.

Ada 3 orang calon investor yang tertarik. Investor A membeli 100 lot atau Rp 400 juta. Investor B membeli 100 lot juga Rp 400 juta. Investor C membeli 50 lot atau Rp 200 juta. Total investasi terkumpul Rp 1 miliar. Total saham yang telah terbit adalah 100.000 (awal milik Anda dan Budi), dan 25.000 (milik 3 investor). Totalnya kini ada 125.000 lembar saham.

Artinya, kepemilikan anda menyusut atau terdilusi. Dari sebelumnya 50%, kini menjadi 50.000/125.000 atau 40%. Namun kekayaan anda naik berdasarkan kenaikan nilai usaha karena masuknya investor.

Hitungannya begini: Bila dengan investasi Rp 1 miliar mendapatkan 25.000 lembar saham baru, maka 100%-nya adalah Rp 5 miliar. Karena 25.000 adalah 20% atau seperlima dari 125.000. Dan Rp 1 miliar dikali 5 adalah Rp 5 miliar.

Dari Rp 5 miliar itu ada 125.000 lembar saham yang diterbitkan, maka harga per lembar sahamnya adalah Rp40.000/lembar. Kekayaan anda yang awalnya hanya Rp 500 juta dari 50.000 lembar saham yang nilainya Rp 10.000/lembar, kini sudah naik menjadi Rp 2 miliar.

Mulai dari sini maka anda, co-founder, dan para investor pergi ke notaris untuk mendirikan perusahaan dan mengesahkan kepemilikan saham masing-masing tersebut. Bila para investor menyetorkan modal dalam bentuk uang, maka anda dan co-founder modalnya dalam bentuk intangible asset (non-tunai) yang akan dicatat dalam neraca perusahaan sebagai aktiva tetap tak berwujud. Kalian berlima kemudian akan menunjuk Pengurus usaha (Direksi), dan Pengawas Usaha (Komisaris). Kemungkinan besar anda dan co-founder akan ditunjuk sebagai Pengurus (Direksi), dan 1-2 orang investor akan ditunjuk sebagai Pengawas (Komisaris).

Dari sini anda sudah paham bagaimana menciptakan Rp 2 miliar dari ‘ketiadaan’ dan membuat anda jadi miliarder. Tapi wajib diingat, Rp 2 miliar itu tidak likuid atau non-tunai. Namun saham juga adalah kekayaan. Saham bisa dijual pada suatu waktu dan nilainya bisa naik.

NILAI SAHAM YANG TERUS NAIK

Di tahun ke-3, startup anda yang sudah menjadi PT ternyata berhasil menciptakan performa yang baik. Namun anda perlu modal tambahan untuk mempercepat pertumbuhan dan jumlahnya tidak kecil. Anggap saja anda butuh Rp 10 miliar. 3 investor awal tak punya uang sebesar itu untuk berinvestasi lagi. Maka anda pergi ke investor venture capital (VC).

Sebelum pergi ke VC, anda lebih dulu harus menentukan lagi: dengan investasi Rp 10 miliar dapat saham berapa lembar?

Anggaplah anda menentukan Rp 10 miliar mendapatkan 30% lembar saham baru dari total 125.000 lembar saham yang ada. Atau 37.500 lembar saham untuk investasi Rp 10 miliar. Artinya per lembar saham di ronde investasi kali ini dihargai Rp 267.000.

Bila di investor awal Rp 1 miliar bisa mendapatkan 25.000 lembar saham, mengapa kali ini Rp 10 miliar hanya mendapatkan 37.500 lembar saham? Mengapa harga saham itu naik?

Karena usaha anda sudah berkembang baik. Kondisinya sudah berbeda dibandingkan awal usaha dulu. Ibarat tanah, dulu lingkungan sekitar masih sepi. Sekarang sudah ramai. Tentu naik harganya.

Bila investor VC ini setuju, maka kekayaan anda naik lagi. Dari awal Rp 10.000/lembar saham menjadi Rp 40.000/lembar, kini Rp 267.000/lembar.

Dengan 50.000 lembar saham di tangan, kekayaan anda adalah Rp 13,3 miliar dalam bentuk saham.

Pola ini akan terus berulang ketika anda masuk ke ronde-ronde pendanaan selanjutnya dan kekayaan anda dalam bentuk saham terus meningkat.

[course id=”27492″]

MENCAIRKAN SAHAM

Saham itu bentuk fisiknya selembar kertas sertifikat saham bernomor seri yang menyatakan berapa lembar yang anda miliki. Jumlah saham yang anda miliki juga tercatat dalam akta perusahaan — bila jenis sahamnya adalah saham atas nama.

Di tengah perjalanan istri anda minta dibelikan rumah baru. Besar pula. Gaji anda sebagai Direktur Utama/CEO perusahaan masih belum cukup. Maka anda menjual sebagian saham yang anda miliki kepada pemegang saham lain, bila mereka mau membelinya. Biasanya anda tidak diizinkan menjual saham ke pihak luar karena akan otomatis menambah jumlah peserta baru dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Anggap saja anda menjual sebagian saham tersebut di tahun ke-4 ketika harganya Rp 267.000/lembar kepada pemegang saham lain, misalnya si investor VC. Anda menjual 1.000 lembar seharga Rp 2,6 miliar. VC tadi setuju. Maka anda mendapatkan dana tunai yang masuk ke dompet pribadi sebesar Rp 2,6 miliar dari proses jual-beli atau transfer, atau cash-out/buy out saham ini. Rp 2,6 miliar tunai itulah yang anda belikan rumah baru.

Seiring tahun berjalan, usaha anda makin moncer saja. Investasi dari investor-investor baru terus masuk. Anggaplah dengan masuknya dana-dana investasi baru membuat nilai per lembar saham anda mencapai Rp 1 juta/lembar. Maka dengan sisa 40.000 lembar saham yang anda miliki, anda punya kekayaan Rp 40 miliar dalam bentuk saham.

Meski dengan masuknya investor-investor baru otomatis diterbitkan saham-saham baru yang membuat prosentase kepemilikan anda dalam perusahaan menyusut karena angka saham pembaginya juga makin banyak. Namun kekayaan anda meroket.

Exit adalah sebuah tahapan dimana pemegang saham secara sendirian atau bersama-sama mencairkan mayoritas atau keseluruhan saham yang ia miliki. Tahapan ini bisa lewat menjual seluruh sahamnya kepada pemegang saham lain (ini tidak umum), kepada pihak yang ingin membeli atau mengakuisisi perusahaan, atau pelepasan saham kepada publik (IPO) di lantai bursa.

Misal ada satu perusahaan teknologi besar yang ingin membeli perusahaan anda. Harganya cocok. Mereka setuju memborong semua saham yang ada dalam perusahaan anda dengan harga Rp 1 juta/lembar. Maka anda akan menjual 40.000 lembar saham yang anda miliki seharga total Rp 40 miliar. Dan kini anda bisa bersantai 1 tahun di Bahama, beli rumah dan mobil mewah baru. Atau kembali memulai startup baru.

KEPEMILIKAN VS KEKAYAAN

Konsep meningkatkan kekayaan melalui saham masih asing di Indonesia dimana kepemilikan usaha biasanya tunggal atau keluarga. Para pendiri usaha biasanya menghindari masuknya pemodal baru. Selain untuk menjaga kepemilikan tunggal, juga agar tidak ada orang/pemodal lain ‘cawe-cawe’ dalam usaha mereka. Sementara uang — yang jumlahnya tidak sedikit — dibutuhkan untuk mengembangkan usaha. Maka akhirnya mereka mengandalkan 2 cara: pinjaman atau laba usaha.

Pinjaman akan mengakibatkan kewajiban rutin yang akan menggerus laba. Sementara laba diperlukan untuk mengembangkan usaha. Bila hanya mengandalkan laba tanpa pinjaman, di masa-masa awal berat untuk menciptakan laba yang cukup untuk bisa berkembang secara baik.

Sementara dalam bisnis teknologi kecepatan adalah koentji. Tidak cepat maka akan terancam takluk oleh pemain baru atau pemain dominan. Karena dalam dunia teknologi disrupsi itu hanya berjarak 1 klik. Apa yang kita buat juga bisa dibuat orang lain. Karena itu kecepatan diperlukan untuk meningkatkan standar teknologi, layanan, adopsi, dan penetrasi pasar. Dan kecepatan ini butuh uang sangat besar.

Pinjaman bank juga sulit. Selain karena para founder tidak semua dari kalangan berada, sebuah produk inovasi tidak langsung bisa menciptakan laba. Sehingga satu-satunya jalan adalah menerima pemodalan dari pihak luar.

Soal ‘cawe-cawe’ para pemodal baru itu juga lebih banyak baiknya ketimbang jeleknya. Para pemodal, terutama venture capital (VC) adalah institusi profesional yang memiliki expertise dalam pengelolaan usaha, manajemen organisasi, marketing, network, public relation, hingga portofolio usaha yang bisa saling sinergi. Mereka adalah pihak yang justru kita butuhkan agar bisa menciptakan pertumbuhan cepat dan berkelanjutan.

Jadi, bila anda menginginkan pertumbuhan usaha yang cepat dan berkelanjutan, anda tak bisa melakukannya sendiri. Anda perlu keterlibatan dan kontribusi pihak lain untuk masuk ke dalam perusahaan. Memiliki dan mengurusnya secara bersama-sama.

Memang komposisi kepemilikan anda akan menyusut. Namun kekayaan anda akan meningkat dari saham. Kalaupun suatu saat anda didepak dari kursi CEO, maka terima saja. Mungkin anda memang tidak kompeten mengurus usaha. Karena mengurus perusahaan dengan nilai Rp 1 miliar beda caranya dengan mengurus perusahaan Rp 1 triliun. Mengurus usaha Rp 1 triliun beda dengan perusahaan Rp 100 triliun.

***

Bisa setelah ini anda akan buru-buru mengambil laptop. Mencari ide akan membuat produk apa. Mencoret-coret kertas. Menyusun rencana mendirikan startup. Lalu kasak-kusuk mencari investor. Dengan mimpi akan jadi Nadiem atau William selanjutnya.

Semudah itukah?

Dari pengalaman saya di Arkademi, ada perbedaan sangat besar antara membuat produk dengan mendirikan dan menjalankan perusahaan. Produk, usaha, dan perusahaan adalah tiga entitas berbeda dengan tingkat kesulitan yang berbeda pula. Anda mungkin bisa membuat produk. Tapi sudah beda ceritanya ketika produk itu anda jadikan sarana inti dalam usaha dan memasukkannya ke pasar — yang biasanya anda mulai sebagai solopreneur. Makin beda lagi ketika anda memutuskan untuk menciptakan perusahaan, mencari dan mengelola investor, lalu memimpin perusahaan anda tersebut dan terlibat langsung dalam persaingan pasar.

Namun setiap orang berhak untuk mengupayakan impiannya masing-masing. Hanya satu yang saya tanyakan kepada setiap kawan yang menyampaikan niatnya untuk mendirikan startup: “Apa yang bersedia kamu korbankan?”. 

Pada suatu waktu di masa depan mungkin seorang founder bisa menjadi kaya raya. Mungkin. Tapi di awal usaha rintisannya, seorang founder pasti menjadi pusat gravitasi seluruh beban dan menanggung semua rasa sakit. Mengalami segala hal yang tak pernah diajarkan di buku atau seminar apapun.