Sisi Gelap Founder yang Tidak Dibicarakan Orang

sisi gelap founder yang tidak dibicarakan orang
BisnisKewirausahaan

Mengapa banyak founder yang patah di tengah perjalanan usahanya?

Karena ia berjarak terlalu jauh dari kenyataan — setiap hal yang bisnis dan market inginkan dari seorang founder. Ia terlalu fokus pada visi akan menjadi seperti apa dirinya di masa yang akan datang ketika usahanya sukses. Hal ini akan menjauhkan founder dari setiap kenyataan yang harus ia tangani dalam bisnisnya. Pada akhirnya visi pribadi itu akan berujung pada ilusi, fantasi, atau bahkan depresi.

Kalimat di atas mungkin terlalu abstrak. Mari membumikannya.

DUA VISI FOUNDER

Generasi kita mengenal begitu banyak istilah atau kosakata baru dalam kewirausahaan: startup, valuasi, founder, user, data, dst. Termasuk juga prinsip-prinsip baru dalam memulai dan menjalankan kewirausahaan. Prinsip yang relevan untuk digunakan untuk berkompetisi dalam dunia yang begitu cepat berubah dan makin kejam saja.

Salah satu prinsip yang diajarkan kepada founder adalah: “Milikilah tujuan yang lebih besar daripada dirimu sendiri.” Nasehat ini didengungkan terus-menerus. Makanya jangan heran bila dari mulut seorang founder muncul kalimat seperti: “Saya ingin mengubah dunia!”, “Saya ingin mendisrupsi sebuah sektor industri agar lebih baik!”. Atau semacamnya.

Itu hal yang bagus.

Masyarakat telah ‘mendidik’ para founder agar dapat menciptakan dampak atau mengatasi persoalan hidup dalam skala masif. Membantu dan menyelesaikan masalah banyak orang. Teknologi memungkinkan hal ini dilakukan dengan ongkos permulaan yang sangat kecil. Dengan demikian, peradaban kita memberikan syarat mutlak kepada founder untuk memiliki visi dan tujuan besar. Dan tujuan ini seringkali tak bersinggungan langsung dengan diri founder.

Tapi founder juga manusia. Ia punya hasrat dan cita-cita sebagai seorang individu. Founder tetap berhak memiliki agenda pribadinya sendiri — yang itu tak harus berhubungan dengan siapapun.

Seorang founder tetap ingin jadi kaya raya berkat hasil kerja, usaha dan pengorbanannya. Ingin punya vila di Hawaaii, punya yacht, berlibur setiap saat dengan pasangan, menyekolahkan anak di tempat terbaik, dll. Ini adalah hasrat pribadi yang sangat manusiawi. Tapi ada ada hubungannya sama sekali dengan bisnis dan market. Karena konsumen tidak peduli apa hasrat kita. Namun meniadakan hasrat ini justru tidak masuk akal. Bahwa seorang founder ingin mendapatkan hasil (besar) atas jerih payahnya, itu manusiawi, dan ia berhak untuk itu. Karena tidak semua orang dilahirkan sebagai nabi.

Sehingga, pada diri seorang founder memiliki 2 visi: visi akan dampak yang bisa ia ciptakan ke market atas ide serta bisnisnya, dan visi pada diri sendiri di masa yang akan datang.

Tapi sampai di sini mulai muncul masalah. Visi pribadi seorang founder hanya akan terwujud ketika ia mampu mewujudkan visinya kepada market. Dengan kata lain, segala kenikmatan yang bisa dinikmati seorang founder adalah hadiah atau insentif yang diberikan oleh market karena ia mampu menciptakan dampak dalam skala luas. Perwujudan visi pribadi seorang founder adalah resultan dari kerjanya atas market.

Inilah sumber masalahnya. Tidak banyak orang mau membicarakan sisi gelap kewirausahaan dan ‘Kerja’ yang mesti dilakukan founder untuk market dan bisnisnya. Kerja founder akan didominasi oleh 2 hal: kekecewaan dan rasa sakit.

Saya menemukan begitu banyak racun ditebar: kewirausahaan itu mudah dan setiap orang bisa menjadi founder. Ini kebohongan besar pertama. Racun dan kebohongan besar kedua adalah iming-iming: cara cepat sukses, tinggal copy paste, amati tiru modifikasi (ATM), dll. Bila caranya semudah itu maka semua orang sudah melakukannya.

Padahal kewirausahaan adalah kesediaan melakukan hal-hal sulit — hal yang tidak mau dilakukan orang pada umumnya. Sementara, umumnya di balik hal sulit tersedia peluang.

Jadi, bila anda memulai wirausaha karena menganggap itu adalah hal yang mudah, maka berhentilah. Stop. Jangan teruskan. Anda bisa gangguan mental nanti. Terlebih lagi masyarakat kita tidak mudah menerima kegagalan dan cenderung mudah memberi stigma.

GANGGUAN MENTAL

Bicara soal gangguan mental, saya percaya: setiap founder menderita gangguan mental dalam kadar tertentu. Baik ia sadari atau tidak.

Inilah sebabnya: kenyataan itu buruk, dan founder adalah orang yang paling dekat dengan kenyataan.

Setiap detik dalam hidup seorang founder ia selalu bersinggungan dengan setiap aspek dalam usaha dan marketnya. Jangankan saat liburan, bahkan saat tidur pun masih mimpi tentang bisnisnya. Sial betul! Hari-hari seorang founder akan didominasi oleh jantung yang berdebar, marah, kecewa, dan sakit hati. Mulai dari soal karyawan yang tidak deliverable, biaya yang meningkat, dimarahi konsumen, hingga persaingan yang begitu keras. Bahkan persaingan yang bisa membuat founder berpikir mustahil untuk dimenangkan ketika ia menguak fakta demi fakta dalam perjalanan bisnisnya.

Founder juga hidup dalam kecemasan sekaligus agresivitas. Karena ia selalu berpacu dengan waktu. Waktu akan terus menggerus modal usaha yang dimilikinya. Sementara ia perlu waktu untuk membangun landasan pacu agar bisnisnya bisa lepas landas — bertahan dan memenangkan persaingan di market. Bila waktu habis, maka game over.

Obsesi, kekecewaan, rasa sakit, kecemasan, agresivitas, dan segala hal yang menjadi sifat hidup dan keseharian founder ini harus dibayar dengan sesuatu: kesehatan mental.

Topik ini tidak banyak dibahas atau diakui. Tabu. Lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Terutama oleh orang atau pebisnis yang ingin anda juga jadi pebisnis untuk mensukseskan bisnisnya. Bisnis reseller, MLM, atau money game contohnya. Atau, dengan dalih menebarkan optimisme, orang cenderung menyembunyikan atau tak jujur pada hal-hal jelek yang berada di belakangnya.

Gombal terbesar tentang founder yang tengah membangun bisnisnya adalah: keseimbangan hidup. Secara default, hidup founder tidak pernah seimbang. Meski ia berlibur sekali seminggu ke Bahama. Karena founder hidup dalam dimensi terpisah. Ia tidak bekerja 5 kali seminggu 9-to-5. Dimensi pemikirannya hidup 24 jam sehari untuk bisnisnya. Jangankan saat berlibur dan kumpul bersama keluarga. Mimpi tidur pun masih tentang usahanya. Berada di atas gunung yang sejuk dan berpemandangan indah tak akan mencegah pikiran seorang founder untuk memikirkan bagaimana memenangkan persaingan bulan depan. Ini adalah dimensi yang tak terkontrol. Bahkan ketika ia sudah melepaskan diri dari usahanya: exit, pensiun, turun dari jabatan — dimana founder akan berhadapan pada realitas lain bernama ‘I am my company syndrome’.

Setiap founder atas usaha yang sukses, yang gagal, yang merintis, maupun yang berkembang, pasti akan mengalami hal tersebut. Hanya founder yang ‘founder-founderan’-lah yang tidak mengalaminya. Karena visi founder pada ide, usaha, dan marketnya selalu mempertemukannya dengan realitas yang buruk. Yang mau tidak mau harus ia hadapi dan tangani. Pada market yang tak mau kompromi dan tak peduli.

MEMPERKECIL JARAK

Pada percabangan visi lain founder punya impian sebagai pahlawan dan kemakmuran. Sungguh fantasi yang indah ketika founder membayangkan dirinya seperti itu di masa depan. Fantasi yang sangat berjarak dengan kenyataan yang sedang ia lalui pada bisnisnya.

Karena itu, makin lebar jarak antara visi usaha dan visi pribadi, makin membuat founder cepat patah dan menyerah. Karena celah di antara dua visi itu hanya ruang gelap yang tak mengarahkan founder kemanapun. Seperti limbo. Buka segan, tutup pun malu. Tapi karena kompetitor tidak peduli dan uang tidak pernah bohong (yang akhirnya habis), maka tutup juga.

Dengan kenyataan kehidupan founder seperti ini, setidaknya ada 2 kemampuan yang mesti dimiliki seorang founder. Pertama, mengubah kekecewaan dan rasa sakit menjadi energi dengan cara yang efektif dan efisien. Kedua, memperkecil jarak antara visi usaha dan visi pribadi.

Ketika hari-hari seorang founder dipenuhi kekecewaan, rasa sakit, dan kecemasan, ia harus mampu melakukan self-healing agar itu bisa menjadi energi. Tentu tiap orang punya cara self-healing yang efektif dan efisien masing-masing. Misalnya beribadah, bermeditasi, bermain dengan anak, bicara dengan sahabat, dsb. Apapun caranya, healing ini harus dilakukan. Kalau tidak, bisa rontok.

Kemudian, tetapkanlah visi yang berevolusi, imbang, dan achieveable (dapat tercapai) agar kedua percabangan visi anda tetap memiliki celah yang kecil. Bahwa di awal anda punya visi mengubah dunia dan ada dalam daftar 10 orang terkaya di Indonesia, sah-sah saja. Tapi bila kedua visi ini tidak anda evolusikan, anda pasti keblenger. Karena anda sendiri pun tak tahu kapan itu akan terjadi dan tercapai (achieved). Namun bila kedua visi tersebut (yang anda bawa dalam keseharian hidup) dievolusikan setahap demi tahap, setiap hal jadi tampak mungkin. Ketika dua visi tercapai karena dia achieveable dalam skala anda yang paling realistis, anda akan merasa bahagia dan berguna. Hal itu akan menjadi energi sangat besar bagi anda masuk ke tahapan berikutnya.

Contoh. Bila visi usaha anda di tahun pertama adalah menciptakan pendapatan Rp 1 miliar, maka imbangi dengan visi pribadi yang relatif sederhana, misalnya bisa mengajak keluarga berlibur ke Lombok. Di tahun ke-2 visi anda akan berevolusi. Misalnya usaha bisa menciptakan pendapatan Rp 3 miliar, dan visi pribadi adalah melunasi sisa kredit rumah. Dan seterusnya. Yang penting, evolusikan visi-visi tersebut ke bentuk yang anda yakin dapat anda capai dan bisa anda antisipasi setiap kemungkinannya.

Makin kecil jarak antar dua visi ini, atau bahkan menyatu, barulah keseimbangan hidup founder bisa akan terjadi. Bahwa ‘Kerja’ dan ‘Hidup’ adalah sesuatu yang seiring sejalan dan menjanjikan imbal-balik di antara keduanya.

[course id=”27492″]

BEBAN CITRA

Lalu, mengapa sisi gelap ini menjadi kisah yang tersembunyi?

Karena manusia cenderung hanya suka pada kisah kemenangan. Masyarakat kita tidak menyukai kegagalan dan menganggap tak ada satupun hal baik yang bisa dipetik dari orang gagal. Ada banyak stigma buruk yang siap ditempelkan pada orang gagal. Padahal, tak ada satupun kewirausahaan yang berhasil tanpa founder-nya mampu mengatasi kegagalan demi kegagalan secara kontinyu.

Seorang founder juga dibebani oleh citra yang mesti ia tampilkan: kepada timnya, kompetitor, rekan bisnis, konsumen, dan masyarakat. Founder dituntut untuk tetap tampil kuat dan teguh di hadapan timnya tak peduli apa yang sedang dialami atau dirasakannya. Karena ia adalah role model bagi kelompoknya.

Founder adalah citra dari bisnisnya sendiri. Oleh karena itu ia juga harus tetap tampil cemerlang di depan umum. Terutama ketika founder menjalankan sebuah bisnis dalam industri yang begitu terbuka kepada umum. Industri teknologi B2C salah satunya.

Kisah-kisah gelap tentang founder hanya beredar di lingkaran yang amat kecil: pasangan atau sahabat. Kisah sisi gelap ini tak dibawa ke depan umum karena masyarakat tidak menyukai kelemahan dan kerentanan — segala hal yang berasosiasi dengan kegagalan.

***

Bila dari tulisan ini anda menilai bahwa saya menakut-nakuti atau menyarankan orang lain agar tidak menjadi founder, anda keliru. Dunia ini membutuhkan para founder lebih banyak lagi. Karena para founder-lah yang memulai kewirausahaan — sesuatu yang kemudian melahirkan dampak: membuka lapangan kerja, menggerakkan ekonomi, menghadirkan inovasi, membuat dunia berjalan dengan cara-cara baru yang lebih efisien, dst. Bila seorang founder yang sukses dianggap sebagai pahlawan, sungguh itu bukan hal yang berlebihan.

Tapi Marinir tidak dilatih di warung karaoke. Tak ada seorang pun yang menjanjikan kepada Marinir bahwa mereka akan bekerja di antara cokelat dan gula-gula. Sejak awal Marinir diberitahu bahwa hidup yang mereka jelang adalah peluru, lumpur, siksaan, dan luka. Sebagian orang bersedia, dan sebagian lain tidak. Itu tidak masalah, karena tidak semua orang harus jadi Marinir.

Begitu pula semestinya kepada para (calon) founder. Bahwa di balik kisah-kisah inspiratif yang mereka dengarkan, ada sisi gelap yang tersembunyi. Sisi yang mesti mereka antisipasi sebelum memutuskan memilih jalan hidup sebagai seorang founder.(*)

[vc_btn title=”BELAJAR MEMULAI STARTUP DI  SINI” color=”danger” align=”center” button_block=”true” link=”url:https%3A%2F%2Farkademi.com%2Fcourse%2Fmendirikan-startup-dan-cara-membagi-saham%2F|||”]