Mental Gratisan dalam Era Keberlimpahan

Mental Gratisan dalam Era Keberlimpahan
Bisnis

Melawan mental gratisan sama dengan menentang ‘hukum alam’. Ini soal prinsip ekonomi paling tua: orang akan mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Termasuk anda. Iya, anda.

Kita mungkin sering menyindir atau jengkel kepada orang lain yang maunya selalu gratisan. Kita menganggap orang-orang seperti inilah yang membuat produk kita susah laku. Tapi sadarkah anda, orang-orang bermental gratisan tadi tiap hari menghabiskan sejumlah uang (yang tidak sedikit) untuk membeli berbagai produk. Beli BBM, pulsa, makanan, kopi, sabun, angkutan, bayar parkir, dll.

Ketika berhadapan dengan penjual lain, mereka bersedia keluar uang. Setiap hari, dalam jumlah tidak kecil. Tapi ketika berhadapan dengan kita, mereka menolak kecuali diberi gratis.

Siapa yang salah?

Kita. Bukan mereka. Bukan orang-orang yang bermental gratisan itu.

ERA KEBERLIMPAHAN

Tahukah anda, semua teknologi yang ada di ponsel anda saat ini 25 tahun yang lalu harganya $ 1 juta atau Rp 14 miliar. Ponsel anda adalah perangkat yang memiliki gabungan teknologi mahal: GPS, gyroscope, video, TV, kamera, telepon, kamus, dll. Tapi dunia berubah. Yang dulu Rp 14 miliar kini jadi Rp 1 juta. Semua ini terjadi karena pertumbuhan eksponensial (exponential growth).

Peter Diamandis menyebutkan exponential growth itu terjadi melalui 6 tahap:

  1. Digitalization (digilitasi): perubahan dari analog ke digital.
  2. Deception (muslihat): perusahaan besar meremehkan perusahaan rintisan kecil yang tiba-tiba saja bisa melejit.
  3. Disruption (disrupsi): terguncangnya kemapanan.
  4. Dematerialization (dematerialisasi): produk tak lagi berbentuk fisik.
  5. Demonetization (demonetisasi): biaya turun drastis, jumlah menjadi berlimpah, harga terjun bebas.
  6. Democratization (demokratisasi): keberlimpahan yang mencapai puncak sehingga menciptakan sharing economy atau free economy.

Kita sudah menikmatinya sekarang. Mengirim surat sekarang gratis dengan email. Berikirim pesan atau menelepon dulu bayar dengan pulsa, kini gratis lewat Whatsapp. Mendengar lagu baru harus beli kaset, kini tinggal nonton di Youtube. Membaca berita dulu harus beli koran, sekarang gratis dimana-mana.

Kalau dituding bermental gratisan, anda mungkin tersinggung. Tapi kalau disuruh bayar layanan-layanan di atas itu, pasti anda juga tidak mau. Melawan keberlimpahan mirip melawan takdir. Sia-sia saja.

Tapi ada kabar baiknya: orang tetap suka membeli.

KEBERLIMPAHAN INFORMASI

Kalau anda menganggap sebagai pihak paling sial karena orang-orang bermental gratisan, derita itu tak ada apa-apanya dibanding bisnis koran. Ini bukan tulisan soal bisnis media. Tapi simaklah kisah di bawah untuk membantu anda memahami apa yang sedang terjadi.

Saya 14 tahun berkarier di industri koran yang tahun lalu saya tinggalkan. Saya tidak percaya lagi model bisnis koran bisa berkelanjutan. Menurut saya industri koran akan mati paling lambat 15 tahun lagi. Ini adalah rentang masa ketika generasi pembaca koran sudah wafat atau tidak punya daya beli lagi karena pensiun.

Koran mati karena berita sudah menjadi komoditas gratis yang sangat berlimpah. Gratis itu muncul karena bisnis berita bisa dilakukan dengan model bisnis baru. Berita tak lagi dijual karena pemasukan berasal dari iklan (digital). Makin banyak yang melihat iklan, makin besar pula pendapatan. Agar makin banyak yang melihat iklan, berita gratis dibuat sebanyak-banyaknya dan disebarkan seluas-luasnya. Lahirlah keberlimpahan.

Celakanya, yang melakukan ini bukan hanya entitas perusahaan, tapi juga individu. Motifnya bahkan bukan ekonomi, tapi pengakuan sosial. Orang menulis dan mengabarkan beritanya sendiri lewat berbagai saluran media sosial atau platform digital lain seperti blog atau Youtube.

Hukum ekonomi: ketika penawaran berlimpah, harga turun. Ketika yang berlimpah itu gratis, berita makin kehilangan harga.

Orang koran masih yakin bahwa berita mereka punya sesuatu yang bernilai sehingga konsumen rela menebus nilai tersebut itu dengan sejumlah harga. Standar jurnalistik misalnya. Nilai itu dianggap sebagai celah antara berita berbayar dan berita gratis, dimana koran bisa mengambil keuntungan dari celah tersebut.

Tapi muncul tiga masalah pada celah nilai tersebut.

Pertama, celah itu makin lama kian menyempit karena penyedia berita gratis juga makin meningkatkan standar jurnalistiknya. Akhirnya, hampir tidak ada perbedaan kualitas antara berita gratis dan berita berbayar.

Kedua, nilai yang makin tidak relevan. Koran menganggap kualitas jurnalistiknya sebagai aset yang bisa dikapitalisasi. Tapi, apakah benar berita dengan ‘standar emas’ jurnalistik itu merupakan nilai yang dibutuhkan orang banyak dan membuat mereka rela menebusnya dengan uang? Sementara sebuah berita hoax dari situs abal-abal bisa dibaca puluhan sampai ratusan ribu orang dalam waktu singkat.

Koran mungkin mencibir standar berita perusahaan media online yang dianggap ‘bukan jurnalistik’. Di saat yang sama, keuangan koran hancur lebur, dan media online punya begitu banyak uang bahkan untuk ‘dibakar’.

Ketiga, menurunnya pertumbuhan pasar yang mengisi celah tersebut. Koran tentu saja masih ada yang beli. Tapi pembelinya sudah makin tua dan kian tidak berdaya beli karena pensiun. Sementara para pembeli masa depan yang masih muda belia tidak mengisi celah tersebut.

MENCIPTAKAN CELAH

Perhatikan paradoks di bawah ini.

Sebuah aplikasi gratis digunakan 1 juta orang. Aplikasi yang mirip dihargai Rp 100 ribu digunakan 1.000 orang.

Anda mungkin menanggap bila produk kita ingin digunakan banyak orang, maka ia harus gratis. Sayangnya tidak.

Ada aplikasi berharga Rp 1 juta dipakai 1 juta orang. Aplikasi yang mirip digratiskan tapi cuma dipakai 1.000 orang.

Sampai sini anda resah harus gratis atau berbayar. Karena hal yang sama juga terjadi pada berbagai jenis produk atau komoditas. Mulai dari seminar, e-book, kursus online, dsb.

Membuat produk berbayar pada prinsipnya adalah membuat produk diferensiasi. Yakni produk yang memiliki perbedaan dengan produk sejenis. Perbedaan itulah yang akan menciptakan celah antara produk berbayar anda dengan produk lain yang gratis. Makin besar celah tersebut, makin baik. Pelajari lebih lanjut cara membuat produk diferensiasi pada artikel di Arkademi ini: Membuat Produk Diferensiasi Berharga Tinggi.

Dalam menciptakan perbedaan itu, inilah pertanyaan dasar yang harus anda jawab:

  • Apa yang membuat produk anda berbeda dengan yang gratis?
  • Apakah perbedaan tersebut mampu menyelesaikan masalah penting dan memenuhi kebutuhan yang nyata bagi konsumen, serta memiliki dampak riil bagi mereka?
  • Apakah konsumen bersedia menebus perbedaan tersebut dengan sejumlah uang?
  • Apakah perbedaan tersebut ditawarkan ke orang yang tepat?

Yang perlu diingat adalah produk berbayar (yang berada di antara banyak produk gratis) harus menekankan nilai di luar fungsi.

Saya akan beri contoh apa yang terjadi di Arkademi.

Arkademi menggunakan Mailchimp sebagai layanan email marketing. Mailchimp bisa dibilang sebagai pemain teratas dalam industri ini. Layanan ini gratis, tapi hanya sampai 2.000 alamat email. Lebih dari itu harus membayar $30 atau Rp 418.000/bulan. Sangat mahal buat Arkademi yang belum punya uang. Ada juga penyedia lain yang memberikan harga Rp 200.000/bulan. Tetap mahal. Sementara list email Arkademi sudah lebih dari 2.000.

Fungsi yang dibutuhkan oleh Arkademi adalah mengirimkan email massal ke 2.000 lebih pengguna, otomatisasi, analytic, dan segmentasi. Sementara dua layanan di atas menyediakan berbagai fitur seperti template, integrasi platform, landing page, dll. Fungsi yang belum dibutuhkan Arkademi.

Setelah browsing kesana-kemari, saya menemukan satu penyedia layanan email marketing yang gratis sampai 5.000 alamat email. Benar-benar gratis (saya tidak sebutkan namanya agar tidak merugikan pihak penyedia layanan serupa yang berbayar). Semua fungsi dasar yang Arkademi dibutuhkan disediakan di sini, bahkan fitur-fitur lain. Lalu apa alasan saya harus membayar sesuatu yang bisa didapatkan secara gratis dan memberikan manfaat yang sama?

Dari kasus ini kita bisa belajar beberapa hal.

Pertama, Mailchip tetap penyedia layanan yang baik. Tapi bukan untuk Arkademi yang baru membutuhkan fungsi dasar dan belum punya uang. Artinya, Arkademi bukanlah segmen konsumen yang tepat untuk layanan berbayar Mailchimp. Baik dari profil kebutuhan maupun profil kemampuan finansial.

Kedua, fungsi dasar layanan email marketing yang disediakan Mailchimp bisa digantikan dengan cepat oleh penyedia lain yang memberikan layanan gratis. Artinya, bila yang kita sediakan sekadar fungsi dasar, maka produk kita memiliki homogenitas (kesamaan/kemiripan) dengan penyedia lain. Setiap yang homogen akan dengan mudah bersubstitusi (bertukar).

KELANGKAAN YANG BERNILAI

Mengapa secangkir kopi sachet seharga Rp 1.000 dijual Rp 15.000 di dalam pesawat terbang?

Karena langka. Karena anda tidak akan mendapati warung kopi sedang terbang di luar jendela.

Semua pelaku usaha bermimpi bisa menciptakan kelangkaan itu. Dengan kelangkaan mereka bisa menetapkan laba ‘semaunya’. Bahkan menjadi pemain tunggal. Di era keberlimpahan menciptakan kelangkaan sangat sulit. Benteng terakhir kesuksesan produk dalam era keberlimpahan adalah nilai diferensiasi yang begitu kuat hingga melahirkan kelangkaan.

Bagus saja tidak cukup. Yang ‘bagus’ bisa direplikasi. Tapi tidak dengan yang langka. Kelangkaan mendudukkan sebuah produk di tempat yang terpisah dengan produk lain. Sebagai yang satu-satunya.

Tarif mengundang penyanyi Lady Gaga adalah $ 90 juta atau Rp 1,2 triliun. Padahal banyak penyanyi lain yang juga bagus dan jauh lebih murah. Zaskia Gotik misalnya. Tapi Lady Gaga tetap Lady Gaga. Ia tak tergantikan. Satu-satunya.

Jadi, tanyakan pada diri anda sendiri: di zaman yang serba berlimpah ini, apakah produk anda adalah Lady Gaga, atau penyanyi dangdut electone yang disoraki hanya satu malam?

***

Ide paling konyol adalah ide yang harus paling diantisipasi.

Era keberlimpahan membuat hampir segala sesuatunya jadi sangat cepat tersaturasi atau padat. Cepat jadi medioker — biasa-biasa saja, tidak istimewa. Laku hari ini, tutup 6 bulan kemudian. Terkenal hari ini, dilupakan bulan depan.

Ini bukan zaman yang menguntungkan bagi para pengekor karena siklus berputar sangat cepat.

Silakan tebak, sampai kapan Es Kepal Milo akan ramai dibeli. Reza Nurhilman (ini bukan saudara saya) sudah berhasil membeli beberapa mobil mewah berkat bisnis keripik Maicih yang ia dirikan. Tapi kini cahayanya tidak seterang dulu. Membuat para pengekor yang mencoba mereplikasi bisnis Maicih jadi gigit jari. Pemain bola yang baik tahu cara menggiring bola. Pemain bola yang hebat tahu kemana bola akan menuju.

Cemaslah ketika yang lain berpesta. Berpestalah ketika yang lain cemas. Pengekor adalah mereka yang mudah tergoda pada pesta. Padalah pesta itu adalah awal keberlimpahan.

Rekayasakan nilai unik anda, perlebar celah antara produk anda dengan yang lain, ambil posisi persaingan yang tidak riuh, jadilah otentik, dan ciptakan kelangkaan. Selanjutnya, berdoalah untuk keberlimpahan rezeki dan kasih sayang Tuhan. (*)