Mengapa Perusahaan Gagal Berinovasi

Mengapa Perusahaan Gagal Berinovasi
Bisnis

Bila McDonald’s menemukan bahwa roti prata yang diolah dengan kismis, cabe dan es krim ternyata jauh lebih lezat dibanding Big Mac, apakah mereka akan menjualnya?

Mari kita meninjau Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA) yang berada di bawah Departemen Pertahanan AS adalah salah satu institusi paling inovatif di muka bumi. Mereka yang memperkenalkan kita pada internet, GPS, drone, Siri, cloud computing, peluru kendali, hingga pesawat siluman. Hampir semua yang kita kenal dalam revolusi teknologi digital berasal dari DARPA. Pekerjaan ribuan orang di sana hanya satu: berinovasi mengubah dunia.

Kita (atau seseorang di China) mungkin bisa meniru dan memodifikasi apa yang sudah diciptakan DARPA. Tapi untuk menjadikan perusahaan kita sebagai institusi yang tak pernah berhenti berinovasi seperti DARPA, kita mesti mereplikasi proses yang ada di dalamnya.

Mungkinkah proses inovasi DARPA direplikasi dengan mudah? Tidak sama sekali.

Steve Andriole, profesor bidang business technology di Villanova Univeristy menceritakan pengalaman hidupnya beberapa tahun di DARPA dan mengungkapkan mengapa perusahaan gagal berinovasi, apalagi meniru DARPA. Mari kita kesampingkan dulu faktor pembiayaan dimana DARPA merupakan institusi pemerintah yang didanai oleh pembayar pajak sehingga tidak kenal laba-rugi.

Andriole menegaskan bahwa inovasi lebih sebagai kultur ketimbang produk atau kegiatan. Dari sini sudah mulai tampak keganjilan: tujuan utama bisnis adalah menciptakan keuntungan dari distribusi produk, sehingga fokus utama perusahaan adalah produksi dan distribusi. Perusahaan-perusahaan yang berhasil menjawab keganjilan ini antara lain Apple, Google, Amazon, dan Samsung.

Mengapa perusahaan gagal berinovasi?

Karena makin kaya Anda, makin pula Anda takut mengambil risiko. Anda takut gagal dan jadi miskin.

Bila Anda miskin dan kelaparan, pilihan Anda makin sedikit dan siap untuk gagal mencoba ketimbang mati. Itu sebabnya banyak kisah sukses seseorang yang pernah mengalami keterpurukan hebat dalam hidupnya — karena ia tak punya pilihan selain mencoba dan gagal tampaknya tidak terlalu buruk. Steve Jobs punya nasihat fenomenal: stay hungry, stay foolish.

Di perusahaan besar dimana para pemegang saham dan eksekutif sudah kaya raya, tim inovator yang dulu membuat mereka tajir telah lenyap. Perusahaan berjalan secara auto pilot. Yang mereka lakukan sehari-hari hanya merepetisi yang itu-itu saja.

Ada semacam keyakinan bahwa tugas utama orang-orang dalam perusahaan besar adalah melanjutkan kebesaran itu sendiri. Kenyamanan seperti ini membuat perusahaan besar lebih sering mengekor dibanding mencipta. Mereka baru panik ketika penerimaan dan laba berguguran. RIM, Kodak, Olympus, Nokia, Sunoco, JC Penny, McDonald’s adalah beberapa contohnya.

Setiap perusahaan sukses tidak sama. Tapi setiap perusahaan gagal punya kesamaan: mereka hanya sibuk dengan yang hari ini dan tak mau repot menciptakan masa depan. Mereka biasanya delusional dan beranggapan masa depan itu statis.

“Perusahaan kita terlalu besar untuk ide-ide kecil.”

“Kita tak boleh menoleransi kesalahan.”

“Perusahaan kita baik-baik saja.”

“Atasan dan rekan kerja saya selalu sinis pada inisiatif baru.”

“Terakhir kali seseorang punya usul, dia dihabisi.”

[vc_single_image image=”13385″ img_size=”580×150″ alignment=”center” onclick=”custom_link” link=”#login” el_class=”logintrig” css=”.vc_custom_1524312751498{margin-top: -20px !important;margin-bottom: 14px !important;}”]

MOTIVASI

Perusahaan besar rata-rata memiliki departemen research and development (R&D). Tugasnya jelas, menciptakan dan mengembangkan. Tapi perlakuan menganaktirikan selalu tampak jelas lewat minimnya pendanaan, penyediaan sumber daya, bahkan menaruh mereka di gudang yang tak terpakai. Seakan-akan kehadiran R&D hanya mandatory agar perusahaan tampak gagah. Para inovator dan peneliti kehilangan motivasi. Selain dianggap tidak penting dan hasil kerja mereka kerap diabaikan, juga karena mereka tak bisa sukses dari apa yang mereka kerjakan.

Di DARPA, para peneliti selalu bisa memonetisasi kesuksesan mereka lewat penyelenggaraan proyek baru yang didanai pihak luar dengan dana gemuk, mendapatkan posisi tinggi dalam industri, atau jabatan di pemerintahan yang membuat mereka mendapat wewenang dan anggaran lebih besar.

Yang seperti ini tidak terjadi dalam ekosistem R&D perusahaan medioker. Bahkan para inovator dan teknokrat muda bercelana pendek, berbaju kaos, bersendal jepit yang berkumpul dalam pertemuan tech startup bisa jauh lebih kaya dibanding para inovator dalam perusahaan besar bergelar PhD.

Siapa penemu alat medis mutakhir yang Anda ingat? Siapa penemu transmisi triptonic pada mobil? Siapa yang menemukan wajan Happycall? Anda tidak tahu atau tidak ingat. Begitu juga saya dan mayoritas orang.

Tapi, siapa inovator transportasi dunia dan Indonesia? Travis Kalanick dan Nadiem Makarim.

Siapa inovator dalam bisnis retail dunia? Jeff Bezos.

Siapa inovator di dunia media? Mark Zuckerberg.

Siapa inovator di bisnis grosir? Jack Ma.

Nyaris tidak ada ruang bagi inovator dalam perusahaan untuk mencapai puncak reputasi atau popularitas. Bila pun ada akan sangat terbatas. Di DARPA, semua orang mengejar popularitas dalam keberhasilan inovasi atau technological fame. Orang-orang yang saya sebut di atas adalah mereka yang meraih popularitas kelas dunia dan mencapai kesuksesan level ultimate sebagai inovator. Bila Nadiem masih tetap bekerja di McKinsey atau Jeff Bezos masih bertahan di Banker Trust, mereka mungkin akan senasib dengan para inovator perusahaan — tak punya reputasi apapun di level dunia.

KULTUR

Direksi dan manajer biasanya terus menekankan pada rapat: ayo kita terus berinovasi demi kelangsungan hidup perusahaan kita. Ini kesalahan fatal.

Mereka menganggap inovasi sebagai kegiatan. Padahal inovasi adalah sebuah kultur dan sebuah sikap yang didukung oleh serangkaian proses yang longgar dan proyeksi hasil yang tak pasti.

Logika ini susah diterima perusahaan karena kultur perusahaan didesain untuk direpetisi, konsisten, bisa diprediksi, dan menguntungkan. Mereka juga didesain untuk memiliki skalabilitas, tetapi dalam batas tertentu. Hanya orang-orang jenius yang bisa menjawab tantangan ini: mereka yang berada di Google, Apple, Facebook atau Samsung. Jenius saja tidak cukup, tetapi juga berani atau nekat.

Di DARPA dan perusahaan-perusahaan di atas, Anda boleh gagal, tapi tak boleh bodoh. Anda mesti cerdas atau disingkirkan selamanya. Orang bodoh tak punya tempat di DARPA.

Gagal boleh, bodoh jangan.

Kapan terakhir Anda gagal dalam project yang ditugaskan perusahaan kepada Anda dan dihabisi karenanya? Nasehat orang tua “belajarlah dari kesalahan” tidak berlaku di institusi Anda karena Anda tidak diberi ruang kesalahan dalam mencoba. Atasan Anda menganggap bahwa inovasi atau segala sesuatu yang baru itu seperti menyulap barang ajaib: langsung ada dan tak bisa salah.

Bila Edison beranggapan demikian, kita akan hidup di dunia tanpa lampu. Nadiem Makarim bercerita, suatu hari seorang programmer di Gojek melakukan kesalahan yang menyebabkan perusahaan itu rugi Rp 4 miliar dalam sehari. “Tapi tak ada satupun yang memarahi programmer itu, dan memang tak perlu dimarahi,” kata Nadiem.

KEBERANIAN

Di DARPA haram hukumnya memulai inovasi lewat SWOT — seperti yang mungkin kerap dilakukan dalam perusahaan. Karena SWOT adalah tool untuk menekan risiko, bukan untuk berinovasi. Bila perusahaan melakukan SWOT, mereka tidak sedang berinovasi. Inovasi bukanlah sesuatu yang reaktif dan konstan. Inovasi bersifat proaktif sekaligus sulit diantisipasi di depan, namun bisa sangat impactful bila berhasil. Untuk mencapainya Anda harus punya keberuntungan yang merupakan atribut mahal untuk ditebus.

‘Keberuntungan’ adalah hal paling dibenci dalam bisnis karena ia tak bisa dikontrol dan diantisipasi. Karena itu umumnya perusahaan sangat sulit mendanai inovasi yang tak bisa memberikan kepastian. Mereka mengelola inovasi seperti halnya mengelola pembangunan pabrik baru. Cara ini tidak akan berhasil.

Mendanai inovasi artinya membiayai sebuah perjalanan mencari keberuntungan.

Itulah sebabnya kita melihat perusahaan-perusahaan baru startup bisa melejit begitu dahsyat dan mampu mematikan perusahaan besar hanya ‘dalam semalam’. Karena mereka punya sesuatu yang tidak dimiliki perusahaan besar: anak-anak muda yang lapar dan berani. Mereka bersedia menjelajahi yang tak pasti demi mendapatkan keberuntungan — karena gagal merupakan sesuatu yang bisa diterima.

Mereka tetap menjaga ukurannya tetap kecil, memulai sesuatu dari yang kecil, tetapi bisa membesar dengan sangat cepat. Patron mereka adalah Google, Facebook, Amazon, Apple, Uber — perusahaan-perusahaan yang menjadikan keberanian dalam berinovasi (dan berbuat kesalahan) sebagai bahan bakar utama. Role model bagi generasi ini bukan lagi Caltex, P&G, DuPont, Shell, British Petroleum, Unilever, atau Coca Cola — nama-nama merk yang sudah tergeser dalam peringkat 5 besar brand dengan nilai tertinggi di dunia digantikan oleh para perusahaan teknologi hanya dalam waktu 5 tahun.

Ada satu kompetensi vital yang tak dimiliki perusahaan besar: self-disruption (mendisrupsi diri sendiri).

Hampir mustahil ada perusahaan besar yang mau menganibal produk mereka sendiri yang sekian lama menjadi revenue center dengan produk baru hasil inovasi. Meskipun produk lama itu basinya bukan main dan pembelinya terus menurun.

Bisnis media cetak adalah salah satu contohnya. Mereka tetap memilih bertahan dan menyiksa diri sendiri meski tahu usianya tinggal sesaat — atau bersikeras berdelusi masih akan hidup 1.000 tahun lagi. Padahal berbekal kompetensi, mereka bisa beralih ke produk dan model bisnis lain seperti media online. Tapi mereka menolak karena mungkin lebih baik mati dibanding berubah menjalani yang tak pasti.

Tidak kompetennya perusahaan dalam self-disruption juga tampak jelas di industri otomotif. Puluhan tahun kendaraan listrik tak punya perkembangan berarti, sementara mobil berpembakaran terus diproduksi. Di sisi lain mereka cukup cerdas untuk mengembangkan mobil listrik dan tahu bahwa akan tiba masanya mobil berpembakaran tak dipakai lagi.

Tapi mereka tak mampu menganibal diri sendiri. Sehingga kita tak mungkin berharap ada inovasi yang signifikan atas kendaraan listrik dari perusahaan otomotif mainstream. Sampai akhirnya seorang mantan inovator dalam dunia fintech bernama Elon Musk masuk ke gelanggang meciptakan mobil listrik Tesla yang sangat revolusioner baru-baru ini. Kepada Tesla sekarang dunia berharap revolusi dan pembauran mobil listrik, bukan kepada Toyota, Honda, Ford, atau Mercedes.

Bila kita berharap perusahaan besar dalam industri lama bisa melakukan inovasi, bersiaplah kecewa. Alasannya sederhana, karena struktur keuangan korporasi bertentangan dengan inovasi.

Sebuah perusahaan lama bisa sukses karena mereka mengoptimasi rutinitas dalam market yang relatif stabil. Bukan karena mereka secara berkelanjutan mengganti yang lama dengan yang baru, atau menghilangkan produk lama yang sudah memberi keuntungan hanya karena siklus hidupnya sudah berakhir.

Perusahaan berargumen bahwa mereka selalu melakukan proses re-engineer atau re-invent, yang semua itu membuat mereka makin tidak dekat dengan inovasi yang sesungguhnya. (*)

[vc_btn title=”DAFTAR. DAPAT GRATIS 6 KELAS” color=”danger” align=”center” css_animation=”flipInX” button_block=”true” link=”url:%23login|||” el_class=”logintrig”]