Mengapa Anda Takkan Menang Melawan Gojek

Mengapa anda tidak akan menang melawan gojek
Bisnis

“Ada jalan yang tak boleh dilalui. Ada kota yang tak boleh dikepung. Ada pasukan yang tak boleh diserang”Sun Tzu

Kecuali anda gemar melakukan hal sia-sia, maka lupakanlah untuk bersaing dan melawan Gojek. Ini spesies raksasa jenis baru yang hanya mungkin dilawan raksasa spesies baru lainnya seperti Grab atau Didi. Kalau anda tahu kenapa anda tidak membuat Facebook, Google, Instagram, atau Twitter baru, gunakanlah alasan yang sama untuk tidak membuat Gojek baru.

Hal tersebut tidak hanya berlaku pada layanan transportasi online. Tapi hampir semua layanan on-demand yang masalah utamanya adalah jarak sekawasan. Jadi termasuk bila anda ingin membuat Gofood baru, lupakan.

Gojek hanya mungkin dilawan dengan teknologi dan business model baru. Itu pun ‘Mungkin’. Karena apapun yang anda buat, Gojek juga bisa membuatnya. Karena Gojek adalah perusahaan teknologi. Kompetensi mereka adalah melakukan rekayasa dan mencipta. Kalaupun hanya anda yang bisa membuatnya, anda akan segera ‘dinetralkan’ oleh Gojek.


Disclaimer: penulis tak memiliki afiliasi apapun dengan perusahaan Gojek, baik secara bisnis maupun personal. Tulisan ini dibuat atas kehendak pribadi penulis.


BARRIER TO ENTRY

Tech startup adalah dongeng modern. Seorang anak muda rajkel bermodal satu laptop mengubah dunia dan jadi kaya raya dalam sekejap. Yang dibayangkan adalah uang investasi dari venture capital (VC) bertebaran dimana-mana — yang untuk mendapatkannya semudah menggosok Lampu Aladin.

Tidak semudah itu, Ferguso…

Setiap perusahaan teknologi mapan manapun sadar dengan hal ini: disruption is one click away. Disrupsi itu hanya berjarak satu klik. Apapun yang mereka buat juga bisa dibuat dan dikembangkan orang lain. Mayoritas dari mereka dulu awalnya juga datang mendisrupsi status quo dan menumbangkan incumbent. Seperti Google mendisrupsi Yahoo, Facebook mendisrupsi MySpace, Android kepada Symbian, atau Gojek kepada perusahaan taksi.

Perusahaan teknologi sadar akan ancaman yang datang dari teknologi baru yang mungkin hadir. Sementara mereka perlu memastikan bisnis mereka berjalan secara berkelanjutan agar bisa menciptakan keuntungan lebih lama dan lebih banyak. Karena itu mereka perlu strategi bertahan dan menciptakan penghalang agar pemain baru tidak masuk atau tak menjadi ancaman serius. Biasa disebut sebagai Barrier to Entry. Yang untuk ini tidak mungkin bila hanya ditumpukan pada aspek teknologi semata.

Teknologi yang andal dan telah mereka berkembang sedemikian canggihnya, tentu juga barrier to entry. Namun barrier paling besar dan paling tidak disadari orang luar adalah business model. Karena ia tidak kasat mata. Business model adalah konstruksi inti kompleks yang menjadi pondasi sebuah perusahaan untuk hidup, bertahan, dan berkembang dalam sebuah pasar. Ia melingkupi aspek proses, strategi, target, segmentasi, aktivitas, infrastruktur, kultur, pendapatan, pemodalan dsb.

Tidak ada satu perusahaan pun di muka bumi ini yang bisa menemukan business model yang solid sekali jadi. Rata-rata perusahaan mapan telah mencoba 3-4 kali business model sebelum menemukan satu yang pas. Pencarian atas business model yang cocok ini butuh waktu dan uang. Yang tidak sebentar dan tidak sedikit. Dalam prosesnya akan banyak uang ‘terbakar’. Karena kita tidak sedang menjalankan perusahaan di ruang hampa. Di pasar kita tak hanya harus berhadapan dengan konsumen, tapi juga kompetitor, distributor, partner, hingga regulator.

Celakanya lagi, business model tidak berlaku selamanya. Ia harus adaptif pada perilaku pasar dan konsumen yang sangat dinamis. Perusahaan yang lebih lama berada di dalam pasar akan memiliki pengetahuan lebih dalam dan lebih banyak pada perilaku pasarnya. Yang dengan itu mereka cenderung bisa lebih cepat beradaptasi. Atau, mereka justru memanfaatkan perilaku pasar untuk membangun barrier to entry.

Jadi, anda mungkin bisa membuat aplikasi yang memberikan layanan seperti Gojek. Di Envato bahkan tersedia banyak app template Ionic untuk bisnis ride hailing berharga di bawah $ 100. Tapi anda takkan bisa mereplikasi business model Gojek.

UNFAIR ADVANTAGE

Setiap bisnis tidak bertarung dengan udara kosong. Seketika berada di dalam pasar mereka akan selalu dalam posisi terancam oleh pesaing. Baik incumbent maupun pemain baru. Sehingga mereka harus menciptakan sebuah kondisi dimana persaingan menjadi ‘tidak adil’. Biasa disebut Unfair Advantage. Keunggulan yang membuat persaingan tidak adil dan karenanya lebih mudah dimenangkan. Ibaratnya, petinju kelas berat punya unfair advantage melawan petinju kelas bulu ketika berlaga di ring yang sama.

Nah, unfair advantage inilah yang membuat anda takkan menang melawan Gojek. Berikut adalah beberapanya.

STANDAR INDUSTRI

Hanya orang non-digital industry yang bilang mudah membuat aplikasi sebagus Gojek. Aplikasi seperti Gojek sudah masuk kategori Super App. Ia dibuat dan dikembangkan dalam waktu tidak singkat, mengeluarkan uang triliunan, dibuat oleh ratusan jagoan teknologi dari berbagai negara dan bergaji mahal, berdiri di atas infrastruktur terbaik dunia, serta dikembangkan terus-menerus.

Dengan pengguna aktif lebih dari 20 juta orang dan brand yang dominan, aplikasi Gojek telah telah diterima oleh pasar sebagai standar teknologi yang berlaku pada industri ride hailing.

Konsumen akan sangat sulit menerima aplikasi lain yang tidak memberikan keandalan dan pengalaman dengan standar Gojek. Dan ini standar yang sudah sangat tinggi sekali. Untuk memenuhi standar ini anda harus mengeluarkan uang yang mungkin hampir sama banyaknya.

Lihatlah bagian komentar pada aplikasi-aplikasi baru ride hailing di Playstore. Anda akan menemukan banyak rating 1 dan komentar bernada: “Sering crash. Susah registrasi, tampilan jelek,” dll.

Bagus-buruk itu selalu relatif terhadap pembanding. Repotnya, pembanding anda adalah standar tinggi yang sudah berlaku di pasar yang diciptakan oleh Gojek, Grab, atau Uber.

Mungkin anda akan bilang bahwa tidak ada teknologi atau app yang bisa langsung sempurna atau berjalan baik di masa awal. Sungguh benar. Tapi mulai dari sini anda akan berhadapan pada setidaknya 2 masalah baru.

Pertama, untuk membenahi dan mengembangkan app agar bisa memenuhi standar industri itu anda butuh lebih banyak uang. Mulai dari menambah developer yang gajinya lebih tinggi, menyewa infrastruktur lebih andal, hingga membayar tool. Anda juga perlu waktu. Seiring jalannya waktu itu uang akan terus terbakar sebagai operating dan production cost. Dengan uang pas-pasan sulit bagi anda memenuhi ini.

Kedua, incumbent tidak sedang tidur dan diam. Mereka juga melakukan apa yang anda lakukan. Namun dengan ukuran dan uang jauh lebih besar. Agar app mereka makin super dan standar industri naik ke level lebih tinggi. Ibaratnya, saat anda berjalan 50 km/jam, mereka ngebut 250 km/jam.

MODAL DALAM KOMPLEKSITAS BISNIS INTERMEDIASI

Gojek tidak sekadar ‘bisnis aplikasi’ atau ‘bikin aplikasi’. Produk aplikasi Gojek, sebagaimana produk lain di dunia ini, ‘hanya’ alat menciptakan nilai. Nilai tersebut yang diantarkan lewat business model.

Gojek atau ride hailing adalah bisnis intermediasi. Ia memerantarai supply (penawaran) dan demand (permintaan). Di sisi supply ada driver, di sisi demand ada penumpang.

Ini model bisnis yang sangat kompleks karena berada di dua sisi pasar. Menghadapi satu jenis pasar saja susah, apalagi dua. Belum lagi cara menyeimbangkan dua sisi ini. Harus ada nilai yang atraktif untuk menarik dan mempertahankan dua sisi pasar ini di saat si intermediator (Gojek) harus bisa menciptakan keuntungan.

Atraktifitas itu tak bisa serta-merta ditawarkan lewat app yang hebat. Karena orang tidak serta-merta datang hanya karena kita membuat app yang bagus. Karena Gojek adalah layanan on-demand yang berdampak langsung pada ekonomi penggunanya, maka atraktifitas itu diciptakan lewat keuntungan ekonomi bagi dua sisi pasar.

Anda tak hanya harus bergerilya di lapangan mencari driver. Tapi juga harus meyakinkan calon driver bahwa anda bisa memberikan keuntungan ekonomi yang menarik — tarif tinggi. Sementara, anda juga harus mencari penumpang dan menawarkan keuntungan yang sama atraktifnya — tarif rendah.

Konsep ini mustahil bergulir secara alami: mahal di sisi supply, murah di sisi demand. Tidak bakal ketemu. Seperti orang main jungkat-jungkit. Tak mungkin keduanya berada di sisi atas. Karenanya Gojek mengintervensinya dengan cara memberi insentif kepada dua belah sisi. Bonus kepada driver dan diskon kepada penumpang. Atraktifitas ini diperlukan agar mereka bisa mengakuisisi pasar dan menciptakan loyalitas. Seiring waktu ketika loyalitas sudah terbentuk, insentif ini dilepas perlahan untuk menciptakan keseimbangan baru. Dan tentunya menciptakan keuntungan bagi bisnis Gojek.

Anda bisa bayangkan berapa besar uang yang dibakar untuk menciptakan keseimbangan dan atraktifitas itu.

Saya sering mendengar konsep dari pelaku bisnis ride hailing baru yang mencoba menjadi pesaing Gojek: “Memberikan tarif lebih tinggi kepada driver.”

Kalau tarif ke driver tinggi, bagaimana caranya tarif bisa murah atau atraktif ke penumpang? Mungkin ini strategi awal untuk memikat calon driver untuk meningkatkan supply. Karena di bisnis intermediasi supply harus jadi prioritas. Namun, ketika supply tercukupi, bagaimana cara agar supply itu menarik bagi pemilik demand?

Yang paling mungkin adalah si perusahaan mengintervensinya dengan memberi diskon kepada penumpang. Selisih yang timbul dari diskon akan ditanggung perusahaan. Makin banyak yang menggunkan layanan maka biaya yang timbul akibat menanggung diskon akan meningkat secara eksponensial. Yang karena itu dibutuhkan modal sangat besar.

Tapi, bukankah ini cara yang sama yang dilakukan Gojek, Grab, atau Uber di masa-masa awal dulu?

Jadi konsep tersebut bukanlah sesuatu yang baru. Bahwa sekarang Gojek melepaskan secara bertahap insentif kepada dua sisi pasar dan mengambil komisi, itu adalah keniscayaan. Walau bagaimanapun perusahaan harus bisa menciptakan keuntungan. Karena hanya dari laba perusahaan bisa berkembang secara berkelanjutan. Kecuali anda sedang menjalankan yayasan.

Ada juga yang berjanji “Tidak mengambil komisi dari driver.” Jadi komisi (akan) diambil dari mana? Mengambil komisi dari penumpang akan membuat tidak atraktif di sisi demand. Atau mungkin revenue stream bukan dari komisi. Lalu dari mana? Apakah revenue model tersebut sudah tervalidasi dan mampu diandalkan untuk profitabilitas dan keberlanjutan?

Atraktifitas dan loyalitas bagi konsumen negara berkembang Asia itu cuma 3 hal: gratis, diskon, bonus. Itu saja diputar terus-menerus. Dalam proses pemutarannya itu ada uang dalam jumlah sedikit yang mesti dibakar.

Mampukah anda atau investor anda menyediakan uang tersebut dalam iklim kompetisi yang diisi oleh pemain dominan yang uangnya tidak berseri?

[vc_single_image image=”13385″ img_size=”580×150″ alignment=”center” onclick=”custom_link” link=”#login” el_class=”logintrig” css=”.vc_custom_1524312751498{margin-top: -20px !important;margin-bottom: 14px !important;}”]

EKOSISTEM DAN SKALABILITAS

Bahkan ketika anda berpikir untuk membuat bisnis on-demand yang mencoba memecahkan masalah jarak, sebaiknya jangan.

Segala layanan on-demand yang masalah utamanya adalah jarak pada satu kawasan kota, cepat atau lambat akan dimasuki dan dikuasai Gojek.

Bukalah aplikasi Gojek dan Golife. Lihat ada berapa diversifikasi produk yang mereka miliki yang mayoritas memecahkan masalah jarak. Gofood, Gosend, Goclean, Goauto, Gofix, Goshop, Golaundry, Goglam, Gotix, sampai Gomassage. Jelas lini produk Gojek ini jadi pesaing dan ancaman pemain eksisting pada niche (ceruk) tersebut. Misalnya Click ‘n Clean, Ahlijasa, Sejasa, dll.

Competitive advantage Gojek adalah mereka memiliki ekosistem pengguna yang sangat besar: 25 juta lebih dan tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu kemampuan memberi insentif dan layanan lain yang terintegrasi, khususnya Gopay. Dengan 25 juta user dan terus berkembang, Gojek dengan relatif leluasa memperkenalkan lini produk baru on-demand berbasis transportasi.

Inilah mengapa Gojek menyebut aplikasinya sebagai ‘Satu Aplikasi untuk Segala Kebutuhan.’ Mereka punya misi untuk menjadi enabler bagi semua kebutuhan on-demand.

Sifat teknologi adalah kemampuannya pada skalabilitas. Termasuk pengembangannya yang tak terbatas. Artinya, bila anda membuat aplikasi layanan berbasis jarak yang belum Gojek buat dan ternyata berhasil memikat pasar, percayalah, Gojek akan membuat yang serupa. Ketika anda bersusah payah mendistribusikan layanan anda ke pasar, Gojek sudah punya 25 juta lebih user dan uang segudang yang siap dibakar.

DINETRALKAN

Mengapa Facebook membeli Whatsapp dan Instagram? Mengapa Google membeli Waze dan Nest? Mengapa Microsoft membeli Github? Mengapa Gojek membeli Midtrans?

Mungkin anda menganggapnya untuk sekadar menambahkan kekayaan usaha. Namun sebenarnya juga sebagai strategi menetralkan ancaman potensial.

Kesalahan pertama anda adalah menganggap Gojek akan diam begitu layanan serupa milik anda masuk ke pasar. Tidak ada kompetisi yang dijalani dengan cara duduk manis. Mereka tidak akan diam. Mereka akan merespon. Secara tampak maupun tidak tampak. Sampai anda ‘ternetralkan’ (neutralized).

Tahun lalu Gojek mengakuisisi Midtrans ketika mereka mulai agresif dengan Gopay. Bisa dibilang Midtrans adalah pemain fintech layanan payment gateway nomor 1 di Indonesia. Jelas Midtrans adalah ancaman potensial bagi Gopay. Mengakuisisi market yang sudah dikuasai Midtrans juga menjadi pekerjaan tidak mudah bagi Gopay. Termasuk juga penguasaan dan pengalaman pada teknologi fintech. Sehingga Gojek ‘melawan’ Midtrans menggunakan sesuatu yang ‘tak bisa ditolak’. Terjadilah akuisisi itu.

Tapi jangan ge-er dulu bahwa produk dan bisnis anda akan diakuisisi Gojek. Setiap ancaman ada levelnya. Tiap level membutuhkan effort berbeda. Jangan buru-buru berpikir produk anda berada pada level ‘Ultimate Risk’ yang oleh karenanya harus direspon dengan tawaran akuisisi. Bisa saja anda adalah ancaman pada level yang ‘akan mati dengan sendirinya’. Atau misalnya, cukup memberikan benefit yang lebih baik kepada para driver anda agar mereka berpindah kapal. Yang dengan itu anda akan menjadi ‘netral’.

MONOPOLI

“Tak ada perusahaan yang bisa menciptakan profit yang baik dalam kompetisi sempurna jangka panjang. Monopoli adalah syarat bagi setiap bisnis untuk besar”Peter Thiel

Kutipan itu sebaiknya ditanam baik-baik dalam benak pelaku tech startup. Karena dunia teknologi tak memberi tempat kepada pemain ke tiga.

Percayalah, setiap usaha menginginkan monopoli. Karena persaingan dalam jangka panjang itu buruk: melelahkan, mengeluarkan biaya, dan menciptakan ketidakpastian.

Lihatlah sekeliling kita.

Siapa yang bisa menyaingi Google di industri mesin pencari

Siapa saingan Facebook di media sosial?

Siapa pemain ketiga di pasar online map yang bisa melawan Google Map dan Waze?

Siapa menyaingi Youtube?

Siapa pemain kedua yang membuntuti Instagram?

Siapa pesaing Gojek dan Grab?

Siapa yang menandingi Traveloka?

Marketplace mana yang berjarak dekat dengan Tokopedia dan Bukalapak?

Dalam market yang matang, bila kita tak menjadi yang pertama atau kedua, kita hanya akan mendapat sekadar remah roti. Lalu mati.

Bahkan tak sedikit pemain pertama yang sengaja membiarkan pemain kedua hidup agar tak terjerat regulasi anti-monopoli. Bila pun ada yang ketiga, biasanya sekarat digebuk oleh yang pertama dan kedua. Seperti Uber di Indonesia.

Monopoli di zaman lalu adalah privilage yang bisa didapatkan lewat kedekatan dengan pihak tertentu. Misalnya berkolusi dengan regulator. Saat ini, khususnya dalam digital industry, monopoli bisa diciptakan. Sifat skala ekonomis pada teknologi, khususnya teknologi informasi, mampu membuat kompetitor tergulung dengan cepat dan makin jauh tertinggal. Sifat lain yang mendukung terciptanya monopoli adalah efek jaringan yang mampu diciptakan serta hak intelektual.

PELUANG YANG TERSEDIA

Kalau kita merujuk pada sejarah para wirausahawan sukses, mereka cenderung adalah kelompok first mover dalam sebuah industri yang masih sangat muda atau bahkan belum terbentuk sama sekali. Mereka mengambil peluang yang tak tampak, atau tak bersedia diambil orang lain karena tak memberi kepastian. Padahal kewirausahaan adalah kesediaan mengambil peluang di dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian.

Orang tua sering menasihati: “Sudahlah, yang pasti pasti saja.”

Masalahnya, bila sesuatu itu pasti maka bukan hanya anda yang berada di situ. Tapi orang banyak, bahkan pemain besar. Hal ini sama dengan industri ride hailing. Anda mungkin berpikir membuat Gojek selanjutnya karena ide dan marketnya sudah tervalidasi. Sudah pasti. Sementara yang menvalidasi ide dan membentuk market dalam industri tersebut adalah pemain awal, yakni Gojek. Saat anda memulai, market sudah padat dan dikuasai pemain dominan.

Yang mungkin tidak anda sadari adalah para first mover dan pemain dominan telah menciptakan penghalang sangat kokoh pada pasar yang sudah pasti ini. Anda mungkin baru menyadarinya ketika sudah nyemplung dan sadar bahwa anda tak sedang berkompetisi di ruang hampa.

Jadi, kalau anda ingin membuat Gojek baru, lupakan.

Seperti yang saya ajarkan di kelas Panduan Teknis Memulai dan Mengembangkan Usaha, peluang itu tak semata-mata muncul dari kebutuhan produk subtitusi (pengganti). Tapi juga kebutuhan komplemen (pelengkap). Menciptakan produk subtitusi ini perlu upaya besar dan strategi canggih. Karena anda hendak mendobrak status quo dan menumbangkan incumbent. Dua hal ini urusan sangat berat. Untuk mengubah perilaku konsumen (status quo) dan menghadapi incumbent perlu modal tidak sedikit, upaya tidak kecil, dan waktu tidak sebentar.

[course id=”27492″]

Bisnis yang mungkin mensubstitusi Gojek adalah yang memiliki teknologi dan business model yang disruptif. Contohnya anda menciptakan alat teleportasi atau kendaraan otonom. Atau menerapkan blockchain sebagai business model. Kalau business modelnya masih mirip-mirip, sebaiknya lupakan niat mensubtitusi Gojek.

Namun menyediakan produk komplemen relatif lebih mudah. Saat ini misalnya, banyak pelaku usaha kecil-menengah yang untung besar dari membuat jaket dan helm gojek, holder ponsel di sepeda motor, sampai bengkel. Atau seperti Midtrans, Kartuku, Mapan, dan Promogo yang diakuisisi oleh Gojek. Mereka menciptakan dan mengembangkan produk yang dapat memberi nilai tambah atau relevan dengan bisnis Gojek — meski pada awalnya mereka tak mendirikan usaha untuk melengkapi Gojek.

***

Gojek bukanlah sebuah sekadar nama — yang mungkin terdengar lucu saat diucapkan. Mereka sudah menjelma menjadi sebuah perusahaan multinasional bervaluasi $ 9 miliar atau Rp 130 triliun. Uang mereka tak berseri. Di dalamnya bekerja ratusan orang-orang pandai di bidang teknologi dan bisnis yang digaji sangat mahal. Mereka memasang para pelobi di pemerintahan dan parlemen. Kantornya tersebar dari Banglore, Singapore, sampai Ho Chi Minh. Di belakangnya ada para investor seperti Google, Astra, Sequioa, bahkan belakangan dikabarkan Telkom akan ikut masuk dengan Rp 4 triliun. Mereka semua bekerja agar Gojek terus membesar dan meningkatkan kekayaan mereka. Mereka tidak akan diam terhadap segala ancaman yang timbul.

Lalu, anda dari sebuah tempat di antah berantah dengan modal, pengalaman, dan kompetensi terbatas, masuk ke pasar yang sama dengan produk yang tampak mirip. Bermimpi akan menumbangkan incumbent dan jadi Gojek selanjutnya.

Oh, tidak semudah itu, Ferguso… (*)

[vc_btn title=”DAFTAR. DAPAT GRATIS 6 KELAS” color=”danger” align=”center” css_animation=”flipInX” button_block=”true” link=”url:%23login|||” el_class=”logintrig”]