Memahami Investasi dan Imbal Hasil Startup

Memahami Investasi dan Imbal Hasil Startup
BisnisKeuangan

Saya akan menjelaskannya dengan ilustrasi termudah: bisnis properti.

Salah satu pertanyaan yang paling banyak diajukan soal investasi dan imbal hasil pada usaha rintisan (startup), terutama pada bidang teknologi adalah:

“Dengan investasi sebegitu besar, kapan balik modalnya? Padahal sudah beberapa tahun berjalan masih belum untung.”

Ini adalah persoalan kita memperlakukan investasi sebagai cara meningkatkan kekayaan dalam rentang waktu pendek, menengah, dan panjang. Serta dengan cara apa investasi tersebut dipandang.

Saya akan menjelaskan dengan cara paling sederhana agar mudah dipahami. Saya akan menganalogikannya sebagai investasi pada properti dalam bentuk rumah. Karena investasi pada tech startup (selanjutnya saya sebut startup) memang sebaiknya dipandang seperti investasi properti, bukan investasi pada usaha yang bisa segera hidup dari cashflow seperti toko atau warung.

Kenapa begitu?

Karena startup itu menciptakan produk-produk inovasi. Sesuatu yang belum pernah ada, atau sudah ada namun belum terbukti di pasar. Orang tidak serta-merta membeli hanya karena startup membuat sesuatu yang baru. Menjual sesuatu yang terbukti jauh lebih mudah menjual sesuatu yang baru. Oleh karena itu produk inovasi memerlukan tahapan adopsi dan adaptasi lebih dulu di sisi market. Ini butuh waktu. Tidak seperti orang berjualan bakso dimana semua orang sudah tahu apa itu bakso.

Lalu bila adopsi itu butuh waktu dan tidak sebentar, mengapa investor bersedia menginvestasikan uangnya?

Karena sifat teknologi — terutama teknologi informasi (TI) — memiliki cost to duplicate (biaya duplikasi) yang sangat rendah dan skalabilitas tinggi. Ia bisa dengan mudah menjual ke 1 orang atau ke 1.000 orang dengan biaya yang relatif sama. Ia bisa melakukan ekspansi dan melebarkan pasar juga dengan biaya sangat rendah. Misal Gojek pada awalnya dirilis di Jakarta, ia dengan mudah ekspansi ke kota-kota lain karena layanan utamanya berada di internet. Skalabilitas tinggi dan rendahnya biaya ini berdampak langsung terhadap laba yang bisa naik secara eksponensial (deret ukur) di masa depan.

Sangat berbeda dengan bisnis non-TI seperti warung bakso dimana untuk menjual bakso lebih banyak maka kita harus mengeluarkan biaya lebih besar. Karena itu pertumbuhan usaha warung bakso hanya bisa inkremental (deret hitung).

ILUSTRASI INVESTASI

Sekarang saya akan memberi ilustrasi investasi startup menggunakan investasi properti.

Saya ingin bisnis properti rumah di atas lahan 500 m2 dengan luas bangunan 100 m2. Harganya Rp 500 juta. Rumah ini akan saya bisniskan, bukan untuk tinggali. Berdasarkan kalkulasi saya, 5 tahun mendatang rumah ini harganya bisa Rp 5 miliar karena letaknya strategis. Di masa 5 tahun itu rumah akan saya sewakan Rp 25 juta/tahun.

Dari sini sudah tampak bahwa imbal hasil (return) yang saya harapkan adalah lewat penjualan kembali rumah tersebut 5 tahun lagi dimana harganya sudah naik 10x lipat. Bukan dari uang sewa yang totalnya cuma Rp 25 juta x 5 tahun atau Rp 125 juta.

Rumah tersebut adalah kekayaan saya. Cara saya mendapatkan kekayaan dari rumah tersebut ada 2:

  • Pemasukan atau laba dari uang sewa Rp 25 juta/tahun atau Rp 125 juta dalam 5 tahun.
  • Penjualan kembali rumah 5 tahun mendatang Rp 5 miliar, atau disebut juga sebagai likuidasi/pencairan atas kekayaan atau EXIT.

Dengan demikian di tahun ke-5 saya akan mendapatkan imbal keuntungan sebagai berikut.
(Rp 5 miliar + 125 juta) – Rp 500 juta sebagai modal = Rp 4,6 miliar.

[vc_single_image image=”13385″ img_size=”580×150″ alignment=”center” onclick=”custom_link” link=”#login” el_class=”logintrig” css=”.vc_custom_1524312751498{margin-top: -20px !important;margin-bottom: 14px !important;}”]

SAHAM SEBAGAI KEKAYAAN

Saya cuma punya uang Rp 250 juta. Saya ajak kawan saya untuk menambahi sisanya Rp 250 juta sebagai investor atau penanam modal. Dia sepakat. Jadi kontribusi kami masing-masing atas kepemilikan rumah tersebut adalah 50%-50%. Supaya sah, kepemilikan atas aset tersebut kami membentuk Perseroan Terbatas (PT) dengan menyatakan rumah itu adalah aset PT. Di dalam akta PT, kami menyebut saya mendapatkan 50% saham, teman dapat 50% saham.

Dengan begitu rumah tersebut adalah resmi menjadi milik kami berdua dengan kepemilikan 50-50. Bukti kepemilikan dinyatakan dalam bentuk saham yang tertera dalam akta PT. Sehingga, saham yang masing-masing kami miliki adalah kekayaan kami.

Di tahun pertama, kami dapat laba Rp 25 juta dari penyewa. Maka kami bagi 2. Saya dapat Rp 12,5 juta, teman dapat Rp 12,5 juta. Bagi hasil atas laba ini disebut dividen yang biasanya dibagi tiap tutup tahun.

Kalau tiba saatnya 5 tahun kemudian rumah tersebut kami jual Rp 5 miliar, maka kami masing-masing mendapatkan Rp 2,5 miliar. Dengan kata lain kami mencairkan/melikuidasi kekayaan dengan menjual kepemilikan saham kami atas rumah tersebut kepada pihak lain.

PENGEMBANGAN DAN INVESTASI BERIKUTNYA

Di tahun ke-2, saya dan kawan berencana mengembangkan bisnis properti kami. Rumah sewa akan kami ubah menjadi rumah kos 10 kamar. Kebetulan daerah sekitar rumah sudah makin ramai dengan perkantoran. Dengan 10 kamar, kami bisa dapat laba Rp 150 juta/tahun. Biaya mengembangkan dari rumah menjadi kos perlu Rp 1 miliar. Kami tidak punya uangnya.

Maka kami mengajak teman kami yang lain sebagai investor ke-2 (investor ke-1 adalah kawan saya yang gabung sejak awal). Dia setuju. Dengan investas Rp 1 miliar, dia akan mendapatkan 30% saham.

Kenapa di masa awal Rp 250 juta bisa dapat 50% saham, di tahun berikutnya dengan Rp 1 miliar justru cuma dapat 30% saham?

Karena nilai tanah dan bangunan properti ini sudah naik (abaikan bahwa kenaikan properti tidak setinggi ini). Dengan masuknya investor baru, maka saham saya dan kawan 1 menyusut. Saya 40%, kawan 1 30%, kawan 2 30%. Kenapa saya dapat 40%? Karena saya ditugasi oleh mereka untuk menjalankan bisnis usaha kos tersebut dan dianggap mampu untuk itu. Sehingga mendapat saham lebih besar. Tapi pada dasarnya pembagian ini sepenuhnya adalah kesepakatan kami bertiga.

Proyeksi usaha kami adalah: dengan rumah kos maka 5 tahun lagi kami bisa menjual properti ini seharga Rp 10 miliar. Karena rumah kos berharga lebih tinggi dibanding rumah tinggal. Kalau 5 tahun ke depan bisnis kami tetap rumah kos, maka ada laba total 150 juta x 5 tahun atau Rp 750 juta sebagai dividen. Total Rp 10,75 miliar. Yang semua ini akan dibagi berdasarkan besaran saham masing-masing pihak.

Dengan terkumpulnya modal Rp 500 juta di tahap awal, dan Rp 1 miliar di tahap kedua, maka nilai usaha berdasarkan modal adalah Rp 1,5 miliar.

Namun nilai usaha umumnya ditentukan proyeksi usaha 3-5 tahun ke depan sebagai tahun dimana pemilik saham mencairkan sahamnya atau Exit. Dengan proyeksi usaha 5 tahun, maka nilai usaha (valuasi) kami bertiga senilai Rp 10,75 miliar.

Jadi, kalau saya punya 40% saham, maka saya punya kekayaan 40% dikali Rp 10,75 atau Rp 4,3 miliar yang siap untuk dicairkan 5 tahun mendatang. Dengan modal awal saya hanya Rp 250 juta di masa awal, berarti ada kenaikan nilai 17x lipat.

[course id=”27492″]

INVESTOR LANJUTAN DAN PENCAIRAN SAHAM

Punya rumah kos ternyata tidak cukup buat kami. Di tahun ke-3 kami bersepakat membangun lantai tambahan sebagai mini market dan fitness center. Butuh investasi baru Rp 2 miliar. Kami ajak lagi kawan ke-3. Tahun ke-4 kami tambah lantai lagi untuk usaha restoran. Kawan ke-4 masuk. Begitu seterusnya. Artinya, setiap ada ekspansi atau pengembangan usaha, selalu masuk investor baru karena ekspansi itu perlu biaya.

Ekspansi secara otomatis akan meningkatkan proyeksi keuntungan 5 tahun ke depan karena nilai properti sudah naik. Misal, sampai tahun ke-4 dengan penambahan lantai untuk usaha restoran proyeksi 5 tahun ke depan mencapai Rp 60 miliar. Total investasi terkumpul dari awal sampai akhir Rp 6 miliar. Pemegang saham ada 5 orang. Misal saya sendiri akhirnya memegang saham 15% (menyusut karena ada beberapa investor baru masuk).

Di tahun ke-4, saya capek bisnis properti. Ingin bisnis yang lain. Maka saya ingin mencairkan kekayaan saya berbentuk saham tersebut. Caranya adalah dengan menjual saham itu kepada pihak lain. Baik kepada pemegang saham lainnya atau orang lain di luar usaha.

Lalu berapa harga saham saya ini bila dijual?

Karena nilai usaha di tahun ke-4 sudah Rp 60 miliar (proyeksi keuntungan 5 tahun ke depan atau di tahun ke-9) dan saham saya 15%, maka nilai saham saya tersebut adalah 15% dari Rp 60 miliar atau Rp 9 miliar.

Harga Rp 9 miliar itulah yang saya tawarkan kepada orang lain yang hendak membeli saham saya.

Dengan modal saya hanya Rp 250 juta di awal, maka di tahun ke-4 ketika saya Exit atau mencairkan saham senilai Rp 9 miliar (tidak termasuk dividen yang didapat dari bagi hasil laba tahunan), maka imbal hasil (return) yang saya terima sebesar 36 kali lipat.

Tidak semua rencana berjalan mulus. Usaha bisa gagal. Misal ternyata usaha bersama kami gagal dan diputuskan tidak dilanjutkan lagi, maka kami akan mencairkan segala kekayaan perusahaan. Baik itu properti, barang-barang yang ada di dalamnya, uang kas, hingga piutang. Lalu hasil penjualan tersebut kami bagi sesuai porsi saham masing-masing.

SKALABILITAS TEKNOLOGI

Ilustrasi di atas tentu saja banyak tidak pas bila dihubungkan dengan bisnis properti yang riil. Namun dari segi investasi, perkembangan dan proyeksi usaha, dan imbal hasil, ilustrasi di atas mudah dipahami.

Yang disebut di atas sebagai dari rumah jadi kos, mini market, fitness center, sampai restoran, adalah cara bisnis tersebut meningkatkan skala usaha (scale-up) agar nilai usaha terus meningkat. Bagi perusahaan teknologi hal seperti ini cenderung mudah, singkat, dan berbiaya rendah (dibanding non-teknologi), serta mampu melayani banyak orang secara serentak dengan cost to duplicate yang rendah.

Contoh. Gojek pada awalnya hanya Go-ride. Lalu bertambah Go-food, lalu Go-Send, Go-Car, Go-Glam dan Go-Go lainnya. Bahkan sekarang jual pulsa. Dimulai dari Jakarta 2015, kini sudah ke Vietnam. Skalabilitas sebagai sifat teknologi membuat mereka mampu tumbuh secara eksponensial. Pertumbuhan eksponensial menentukan proyeksi usaha ke depan dan itu berhubungan langsung dengan berapa imbal hasil yang bisa didapatkan pemilik saham ketika mencairkan kekayaannya.

Arkademi saat ini sedang berada dalam periode penggalangan investasi awal (seed). Setelah itu pedal gas akan diinjak dalam-dalam. Bila anda ingin tahu lebih jauh, mari kita cari segelas kopi.(*)

[vc_btn title=”DAFTAR. DAPAT GRATIS 6 KELAS” color=”danger” align=”center” css_animation=”flipInX” button_block=”true” link=”url:%23login|||” el_class=”logintrig”]