Gratis Berbayar Para Mastah

BisnisIOS

Baruan saya melihat feed dari Mastah Rifan Muazin. Screenshot grup WA menampilkan kekecewaan orang-orang yang bergabung ke sebuah grup pengajaran dan berharap gratis, ternyata berbayar. Fenomena ini menarik dan umum. Internet telah mengubah perilaku manusia dalam memperlakukan dan memandang informasi serta pengetahuan sebagai komoditas yang umumnya gratis. Ketika perilaku pasar berubah, diperlukan cara baru dalam mengkomersialkan pengetahuan. Salah satu cara umum yang dipilih oleh para pakar di internet yang biasa disebut ‘Mastah’ adalah dengan model bisnis freemium.

 

Mastah memberikan pengetahuan dasar secara gratis sebagai umpan, dan menawarkan akses ke pengetahuan yang lebih dalam dan lengkap secara berbayar. Baik lewat e-Book, video, atau seminar. Namun, seringkali hasil atau konversinya tidak seperti yang diharapkan. Ketika pengetahuan gratis diberikan, ada 1.000 like dan 500 comment. Tapi yang membeli e-book hanya 2 (konversinya di bawah 1%). Mastah lalu berpikir harganya terlalu mahal. Lalu dia menurunkan harga 50%. Konversinya tidak naik signifikan. Dimana salahnya?

THE PENNY GAP

Freemium adalah model bisnis yang andal pada era digital dimana biaya marginal bisa ditekan serendah-rendahnya. Tersedianya banyak komoditas gratis, terutama informasi dan pengetahuan, memang telah mengubah perilaku pasar. Namun juga peluang untuk medemonstrasikan value kita secara bebas dan cuma-cuma kepada sebanyak-banyaknya calon konsumen lalu mengkonversikannya sebagai pembeli. Tapi, mengubah dari gratis menjadi berbayar itu bukan urusan gampang meski harga kita murah sekalipun. Karena psikologinya berbeda. Fenomena ini disebut The Penny Gap.

Kita sebagai penyedia produk sering berasumsi bahwa ada konsistensi pada elastisitas harga: makin murah maka makin banyak yang beli. Lalu kita lomba murah-murahan. Padahal konsistensi seperti itu tidak berlaku.

 

Kenyataannya, pada usaha baru yang menjalankan model bisnis freemium, tantangan terberatnya bukan menaikkan pendapatan dari Rp 10 ribu menjadi Rp 1 miliar. Tapi dari Rp 0 menjadi Rp 10 ribu (angka-angka ini hanya contoh). Perubahan persepsi dari komoditas gratis menjadi komoditas komersial adalah lompatan besar di sisi calon konsumen. Pada grafik The Penny Gap, ada celah sangat besar pada sisi permintaan ketika gratis dan harga $ 0,01 atau 1 penny. Kita mungkin awalnya berasumsi bila demand saat gratis adalah 1.000, maka ketika ditetapkan harga Rp 10 ribu, maka demand-nya 800-900. The Penny Gap membuktikan asumsi itu keliru. Konsumen menghadapi barrier/penghalang yang besar untuk berpindah dari gratis menjadi berbayar berapapun nilainya. Jauh lebih sulit meminta konsumen dari gratis membayar Rp 10 ribu, ketimbang meminta mereka yang sudah membayar Rp 10 ribu upgrade ke Rp 50 ribu.

 

Kenapa gap itu terjadi?

Pada bukunya berjudul Free: The Future of a Radical Price, Chris Anderson memaparkan eksperimen terhadap 2 cokelat. Eksperimen pertama: cokelat A gratis, cokelat B 1 sen. Mayoritas konsumen memilih cokelat A yang gratis. Dilanjutkan ke eksperimen kedua: cokelat A 1 sen, cokelat B 18 sen. Mayoritas konsumen memilih cokelat B yang 18 sen dibanding 1 sen.

Jadi, mengubah gratis ke berbayar (berapapun harganya), tidak sama dengan menaikkan harga. Ketika keduanya sama-sama punya harga, yang lebih mahal dipersepsikan lebih baik. Tapi ketika yang gratis diubah ke berbayar, kita meletakkan sesuatu yang baru kepada konsumen: risiko dan komitmen.

Jadi, perbandingan antara produk gratis dan berbayar bukanlah soal produk lebih murah dan lebih mahal. Tapi produk berisiko dan produk tanpa risiko.

Analogi sederhananya begini. Produk gratis itu seperti pacaran. Bisa dilakukan tanpa komitmen apapun dan besok putus. Produk berbayar itu seperti menikah. Konsekuensi dan risikonya tidak mudah. Mengubah status dari pacar menjadi istri/suami bukan urusan gampang.

Ketika dihadapkan pada pilihan untung dan rugi, secara alamiah manusia akan memprioritaskan tidak rugi (risiko) dulu ketimbang untung. Produk gratis akan membebaskan konsumen dari risiko. Sementara, produk berbayar berapapun rendah nilainya, akan membuat konsumen terpapar risiko rugi. Rugi berarti kalah. Dan manusia tidak suka kekalahan berapapun nilainya.

Bukankah kita sering mendengar seorang konsumen yang komplain, “Saya tidak masalah dengan harganya, tapi saya tidak mau diperlakukan seperti ini!”. Itulah kekalahan. Dan kekalahan seringkali tidak terpaut langsung dengan nilai kerugian.

Freemium tetap menjadi model bisnis yang andal, termasuk untuk para mastah yang menjual jasa pengajarannya di internet. Namun dari tulisan ini kita tahu bahwa mengubah dari free menjadi premium itu sangat tidak mudah. Lebih sulit dibanding menaikkan harga. Diperlukan metode tertentu untuk mengelola produk freemium yang sukses.

Dalam beberapa hari ke depan, saya akan berbagi tentang cara yang tepat mengelola dan menjual produk freemium, serta mengubah pengguna informasi/pengetahuan gratis menjadi berbayar tanpa harus diomeli.(*)