Cara Membuat Bisnis Autopilot

Cara membuat bisnis autopilot
Bisnis

“Efisiensi adalah kemalasan yang cerdas.” – David Dunham.

Beberapa hari belakangan Facebook saya agak ramai setelah menuliskan status ini.

Tulisan tersebut — yang sepenuhnya berasal dari pengalaman hidup pribadi — sebenarnya untuk memantik diskusi tentang pentingnya tujuan yang lebih besar ketimbang uang. Namun tidak sedikit yang bertanya — baik terbuka maupun secara privat — apa bisnis autopilot yang saya jalankan dulu dan bagaimana caranya.

Terus terang saya selalu risih dengan konsep hidup ‘kebebasan finansial’ yang sering diasosiasikan dengan ‘tidur-tiduran saja uang mengalir dengan sendirinya’. Bukan karena saya tidak percaya dengan adanya sistem yang bisa mewujudkan hal tersebut — saya sudah membuktikannya. Namun ‘tidur-tiduran uang datang’ sebagai sebuah konsep hidup saya anggap omong kosong. Karena tiap orang perlu tetap bekerja, berkarya, dan berkontribusi agar hidupnya punya arti.

Namun saya sadar tiap orang berada dalam tahapan hidupnya masing-masing. Konsep saya di atas sulit diterima bagi mereka yang bekerja 12 jam sehari dan punya penghasilan tidak seberapa. Bisnis autopilot sangat mungkin jadi idaman mereka. Dalam beberapa jawaban dalam status tersebut, saya justru menyarankan orang lain untuk mencobanya terlebih dulu. Kalau tidak dicoba ‘kan tidak tahu…

Untuk menindaklanjuti saran tersebut, pada tulisan ini saya memaparkan cara membuat bisnis autopilot.

PENJELASAN AWAL

Bisnis autopilot yang saya jalani selama hampir 4 tahun semuanya adalah bisnis berbasis teknologi informasi (IT). Dan saya bukan seorang programmer. Saya tidak bisa coding. Bahkan saya membuat dan mengembangkan Arkademi ini tanpa coding.

Saya yakin ada bisnis lain di luar IT yang bisa autopilot. Tapi saya tidak tahu apa dan bagaimana tepatnya. Karena tidak pernah menjalani. Misalnya, kata orang usaha kos-kosan itu autopilot. Mungkin saja. Tapi saya tidak tahu.

Produk IT saya waktu itu adalah layanan big datasocial government, dan mobile app development. Semua klien dari kalangan institusi pemerintah, lembaga negara, dan perusahaan milik negara. Jumlahnya hampir 10. Saya tidak bisa menyebutkan nama-nama mereka untuk menjaga etika dan kerahasiaan usaha. Meski sejak saya mulai mengembangkan Arkademi semua klien ini tidak saya perpanjang lagi project-nya. Karena ingin fokus hanya di Arkademi.

Mungkin produk saya terdengar high tech. Tapi ingat, saya tidak bisa coding. Mungkin begitu pula anda. Dan tak ada satupun dari produk tersebut yang saya kerjakan dengan coding. Tidak sedikitpun.

Saya bukan orang kaya. Tapi alhamdulillah Tuhan mencukupkan saya sekeluarga. Istri saya bekerja dan punya karier yang sangat baik. Namun kami berdua tidak pernah punya cita-cita bekerja demi jadi kaya raya. Kami sangat jarang berbelanja sesuatu lebih dari yang dibutuhkan.

Autopilotnya adalah: dengan project yang banyak dalam satu waktu, hanya perlu saya kerjakan semuanya 3-4 jam dalam seminggu. Tanpa pernah ada komplain. Deliver tepat waktu dan tepat persyaratan. Bahkan seringkali men-deliver hasil dengan kualitas lebih tinggi dibanding persyaratan. Pekerja freelance hanya 2 orang. Ongkos produksi dan laba yang saya hasilkan bisa anda lihat di bagian akhir tulisan ini dalam bentuk prosentase.

Terakhir, tak ada satu orang pun yang mengajari dan membimbing saya. Baik secara langsung maupun tidak langsung.

Mungkin sampai sini anda sudah ‘keder’ duluan dan beranggapan autopilot hanya bisa dilakukan di industri IT. Menurut saya tidak. Karena ada metode-metode yang sama juga bisa dilakukan di luar bisnis IT.

PROFIL PEBISNIS AUTOPILOT

Apakah semua orang bisa menciptakan bisnis autopilot?

Menurut saya tidak. Tergantung karakter orangnya, tergantung bisnisnya, dan tergantung cara menjalankan bisnisnya. Dan inilah profil pebisnis autopilot.

Anda harus punya obsesi pada efisiensi, kecepatan, kerampingan, dan kontrol. Anda harus benci pada setiap hal dan kegiatan yang memboroskan setiap bentuk sumberdaya: uang, waktu, tenaga, pikiran. Bagi saya ini ‘hukum besi’.

Kalau anda merasa anda adalah orang yang suka melakukan hal tidak penting, boros, lamban, dan pasrah, saran saya: don’t try this at home!

Anda harus punya obsesi dalam memecahkan masalah kompleks dengan cara paling efisien sekaligus optimal. Siapapun yang malas berpikir untuk memecahkan masalah-masalah rumit, tidak saya sarankan.

Anda punya kekuatan besar dan terlatih dalam kerja otak dan ketahanan fisik. Anda perlu otak yang sehat untuk bekerja keras memecahkan masalah kompleks, dan fisik yang mampu memperpanjang durasi kerja. Di masa awal, waktu tidur anda mungkin akan sangat sedikit. Terlebih lagi waktu bersenang-senang.

Anda adalah tipe orang yang memakan bagian makanan paling nikmat paling akhir. Tipe yang bisa sangat kejam pada diri sendiri. Yang bisa memaksa diri ‘tidak tidur 1 bulan demi bisa tidur lelap 11 bulan’. Tapi belum tentu juga ‘tidak tidurnya’ cuma 1 bulan.

Anda tipe orang yang sangat cermat dan skeptis dalam membelanjakan uang.

Anda bukan orang yang kenal kata ‘menyerah’.

Anda wajib punya literasi digital yang baik. Anda tak harus jadi programmer. Saya bukan programmer. Tapi bagaimana cara seseorang yang bukan programmer bisa membuat sebuah sistem autopilot untuk sebuah layanan berbasis teknologi, itu bisa dipelajari. Tapi anda akan sangat kesulitan bila sehari-hari kegiatan anda di internet hanya meloloti dan bertengkar di Facebook.

Oke, jadi sampai di sini anda berpikir punya profil di atas?

Baiklah, mari kita lanjutkan.

PROFIL BISNIS AUTOPILOT

Temukan sebuah bisnis dimana risiko pada supply chain (rantai pasokan) bahan baku utama minimal 90% bebas risiko, stabil dan bisa kita kontrol. Bagi saya 90% ini adalah hukum besi. Kalau kita tidak punya kontrol terhadap rantai pasokan, kita akan perlu banyak waktu untuk memastikannya aman. Tak bisa autopilot.

Contoh. Anda dagang sembako. Takkan bisa autopilot. Karena pemasok anda bisa berubah harga kapan saja atau tidak mengantarkan barang tepat waktu atau pada jumlah yang tepat.

Model bisnis anda punya life time value (LTV) tinggi. Sederhananya, tidak eceran dan tidak beli putus satu kali. Tapi gelondongan dan terikat dalam jangka waktu panjang. Idealnya 1 tahun. Makin rendah LTV produk anda, makin besar pula energi yang harus anda keluarkan untuk mendapatkan pembelian berulang, baik dari konsumen lama atau baru.

Model bisnis anda B2B (business to business). 1 orang konsumen bisnis dihitung 1 entitas tapi nilainya besar, LTV tinggi. Sedangkan 1 orang consumer (B2C) juga dihitung 1 entitas, tapi nilainya kecil dan LTV redah. Hampir tidak mungkin autopilot di segmen consumer.

Anda punya kemampuan, pengalaman, reputasi, dan jejaring untuk mendapatkan konsumen kalangan bisnis. Karena ‘mau’ saja tidak cukup.

Pastikan business process dalam usaha anda bisa diotomatisasi minimal 75%. Bagi saya ini angka minimal. Ada banyak metode dan alat tanpa coding untuk membuat otomatisasi.

Anda harus bisa merancang, merekayasa, dan membangun sendiri sistem otomatisasinya. Bukan berarti harus coding. Tapi bagaimana agar metode dan alat yang anda gunakan sinkron bak sebuah orkestra.

Kenapa anda harus buat sendiri? Karena tiap sistem autopilot itu unik. Tidak generik. Anda harus menguasai dan mengontrol keunikan itu. Anda adalah orang pertama yang tahu betul bagaimana otomatisasi itu berjalan. Sehingga bila ada masalah, anda bisa segera membenahinya. Atau mengembangkannya jadi lebih baik.

Pastikan business processnya bisa dijalankan secara sangat efisien meski baru asumsi awal.

Pastikan sistem autopilot yang anda ciptakan bisa diduplikasi dengan mudah dan efisien untuk diimplementasikan ke konsumen berikutnya.

Bekerjasama dengan konsumen/klien dengan standar complience (pemenuhan) tidak terlalu tinggi. Institusi yang punya karakter seperti ini biasanya institusi pemerintah, lembaga negara, pemda, dan BUMN tertentu. Kalau klien anda misalnya perusahaan multinasional, standar mereka cenderung tinggi. Waktu anda akan habis untuk dicereweti dan mesti modifikasi sistem sana-sini demi memenuhi standar mereka.

Minimalkan manusia (karyawan, freelance). Ini mungkin terdengar kejam, tapi begitulah adanya. Baik minimal secara jumlah, maupun kontribusi manusia terhadap kualitas hasil akhir produk. Maksimal kontribusi manusia 25%.

Kontribusi terbesar minimal 75% harus berasal dari otomatisasi yang kita buat. Karena manusia cenderung sulit dikontrol dan bisa menyebabkan ketidakpastian. Makin banyak pekerja, maka makin banyak pula orang yang perlu anda awasi. Makin besar kontribusi pekerja terhadap hasil akhir, makin sering pula anda harus melakukan kontrol.

Buatlah SOP (standar operating procedure) yang sangat rigid (tegas, kaku) sekaligus sederhana untuk pekerja. Anda juga harus memastikan SOP yang anda buat tersebut bisa anda monitor dan respon secara mudah dan sederhana. Sekali lagi, ini terdengar kejam. Namun saya memandang pekerja sebagai komplemen dalam bisnis autopilot ini. Pelengkap. Mengerjakan apa yang belum bisa saya temukan solusinya menggunakan otomatisasi. Sehingga saya memperlakukannya sebagai bagian dari otomatisasi yang memiliki sifat disiplin, teratur, dan stabil. Untuk ini diperlukan SOP yang kuat dan sederhana.

[course id=”27492″]

MEMBUAT SISTEM AUTOPILOT

Keindahan sistem autopilot bagi saya, bukan uangnya. Tapi pada optimalnya sistem itu berjalan dalam efisiensi dan kerampingan. Seperti ternak robot atau tuyul. Seperti maha karya pribadi. Dan itu indah sekali. Uang yang datang setelahnya saya anggap hanya sebagai insentif atas kerja keras menciptakan keindahan itu.

Saya tipe orang yang memakan bagian makanan paling nikmat paling akhir. Hal itu juga berlaku dalam pekerjaan, termasuk membuat sistem autopilot. Anda akan kerja sangat keras di masa awal untuk menemukan, membuat, menguji, dan mengevaluasi sistem yang anda buat. Sangat keras. Karena itu saya pikir siapapun yang memulainya harus punya motif dan obsesi yang sangat kuat. Motif ‘tidur-tiduran uang datang’ saja jauh dari cukup.

Pada awalnya anda akan membuat sebuah business process standar. Urutan-urutan produksi yang sudah umum dilakukan dalam industri anda. Lalu merinci sumberdaya yang dibutuhkan tiap proses itu: waktu, tenaga, uang.

Kemudian anda harus memecahkan masalah bagaimana cara agar waktu, tenaga, dan uang yang dibutuhkan dalam tiap urutan proses itu bisa ditekan serendah-rendahnya sampai mendekati nol.

Anda wajib selalu punya asumsi bahwa proses tersebut bisa dilakukan lebih efisien, lebih cepat, lebih murah (mendekati nol), namun tetap optimal. Bukan sebaliknya — berasumsi bahwa segala sesuatu yang ‘lebih’ itu harus ditebus dengan uang. Anda harus punya can-do attitude. Apapun harus bisa. Kalau tidak bisa, dibikin bisa. Bukan sebaliknya: belum apa-apa sudah beranggapan tidak bisa.

Anda harus memulainya dari cara paling sederhana, bukan cara yang paling sulit. Misal, untuk mengotomatiskan sebuah proses, anda tidak boleh berpikir bahwa proses itu harus dilakukan dengan sebuah tool yang anda bikin sendiri — sesuatu yang anda tidak bisa, membuat software misalnya. Anda harus punya asumsi bahwa ada tool sederhana dan gratis di luar sana yang bisa anda gunakan untuk mengotomatiskan proses tersebut.

Fokus pada hasil sebuah proses, bukan proses itu sendiri.

Bila anda ingin hasil yang cepat, temukan metode dan tool agar bisa mewujudkan kecepatan itu. Bukan berfokus bahwa kecepatan itu hanya bisa dilakukan lewat metode atau alat tertentu. Hal yang sama juga berlaku pada aspek efisiensi, biaya, dan optimalisasi.

Di tahap inilah kemampuan anda dalam memecahkan masalah kompleks serta ketahanan fisik dan mental diuji.

Sistem yang sudah anda buat tidak mungkin sempurna di hari pertama. Anda akan terus-menerus mengujinya sampai mencapai titik optimum baik dari segi efisiensi, kecepatan, biaya, hingga hasil. Jangan cepat puas. Naikkan terus efisiensi, kecepatan, dan hasilnya. Tekan terus biayanya. Bagi saya pribadi, titik optimumnya adalah ketika hasil yang dibutuhkan konsumen bisa di-deliver dengan kerja maksimal 6 jam per minggu dan biaya produksi di bawah 10%.

Rekor saya adalah 3 jam per minggu, biaya produksi 0,006%, laba 99,994%, LTV 1 tahun, dan retensi di tahun berikutnya.

Sebagai ilustrasi, bila nilai project-nya Rp 1 juta, maka ongkos produksi saya hanya Rp 6.000. Labanya Rp 994.000. Saya tidak punya kantor, tidak ada biaya operasional, tidak ada belanja modal untuk aset fisik maupun non-fisik, dan 2 freelance bekerja secara remote dengan alat milik mereka sendiri.

***

Membuat sesuatu yang rumit menjadi sederhana itu sulit. Sulit sekali.

Tapi kalau anda menyukai hal-hal yang sulit, maka bergembiralah. Karena saya yakin obsesi anda untuk memecahkan masalah sulit akan membuat anda mampu menciptakan bisnis autopilot anda sendiri. Ketika sudah berjalan, Anda mungkin akan merasakan keindahan utama pada sistem yang anda ciptakan ini bukanlah uangnya. Tapi melihatnya berjalan bak sebuah orkestra dengan harmoni yang indah. Uang adalah insentif untuk kerja keras anda karena berhasil menciptakan keindahan itu.

Percayalah, tidak ada hal besar yang datang dari hal yang mudah. Bila anda menemukan sesuatu yang sulit, bersukacitalah. Karena anda menemukan sesuatu yang orang lain tidak mau melakukannya. Dan itu peluang. Tugas anda selanjutnya adalah membuat yang sulit itu menjadi mudah, sederhana, optimal, dan efisien. Pada akhirnya, anda akan terpukau dengan apa yang bisa dihasilkan oleh sesuatu yang berjalan secara efisien dan sederhana.

Sekarang, refleksikan diri anda: apakah selama ini anda adalah orang yang membangun sistem atau hanya komplemen dari sebuah sistem yang diciptakan orang lain untuk mencapai tujuan mereka? (*)