Saat Arkademi sedang menggalang dana investasi pertama pada Agustus 2018, seorang calon investor bertanya kepada saya: “Menurut Anda, bagaimana dengan situasi politik pada saat ini?”
Saya langsung bisa menebak arah pertanyaan ini yang intinya ingin mengetahui pilihan politik saya kepada calon presiden RI 2019-2024. Minimal ingin tahu pandangan atau sikap saya terhadap riuhnya perbincangan politik jelang Pilpres.
Sekilas pertanyaan itu tak ada hubungannya dengan bisnis. Karena kita sedang hendak berbisnis, bukan berpolitik. Tapi faktanya sangat erat kaitannya.
Founder atau pebisnis tetaplah seorang individu. Setiap individu pasti punya pandangan, pilihan, dan sikap politik. Mustahil tidak. Terlepas itu sikap pro dan kontra pada tokoh atau kelompok tertentu, pendukung atau penentang ‘garis keras’, atau bahkan memilih apatis. Seringkali sikap politik seorang individu mempengaruhi cara hidupnya, termasuk cara menjalankan usaha. Inilah yang membuat pilihan dan sikap politik itu seringkali relevan terhadap bisnis.
Semua investor ingin uangnya aman dan berkembang lewat sebuah usaha yang dijalankan dengan baik dan berkelanjutan oleh seorang pemimpin bisnis yang kompeten. ‘Kompeten’ ini bukan hanya persoalan kecakapan mengelola usaha, tapi juga mengelola dan merespon faktor-faktor di luar usaha yang bisa berdampak pada bisnis. Termasuk situasi dan sikap politik. Jadi, pertanyaan calon investor saya di atas sangat relevan dan wajar.
Saya menjawab: “Saya punya pilihan dan sikap politik. Tapi saya tidak boleh menyampaikan atau mengekspresikan sikap dan pilihan itu. Termasuk kepada bapak. Sikap dan pilihan politik saya sebagai individu dan founder bukan hal penting untuk dikemukakan kepada orang lain, apalagi diekspresikan secara terbuka kepada publik. Orang lain memandang founder adalah representasi utuh dari perusahaan atau mereknya. Sehingga sikap seorang founder akan dipandang sebagai sikap seluruh entitas perusahaan. Sementara, Arkademi bukan hanya tentang saya. Arkademi adalah kepentingan banyak orang: mentor, siswa, mitra, investor, dan karyawan. Saya harus memprioritaskan kepentingan mereka semua di atas ekspresi saya terhadap hal apapun, termasuk pilihan politik pribadi.”
Setiap bisnis (semestinya) ada di posisi netral. Sementara setiap individu hampir pasti ada di posisi dan pilihan politik tertentu. Ketika market mengasosiasikan founder atau pemimpin usaha terhadap bisnis atau mereknya, maka setiap tindakan, kalimat dan ekspresi seorang founder akan dianggap merepresentasikan langsung sikap perusahaan.
Itulah beratnya tanggungjawab seorang founder atau pemimpin bisnis. Setiap ekspresi dan tindakan yang bahkan tidak berhubungan langsung dengan bisnisnya, menjadi penting dan mesti dikontrol serta dikalkulasi dengan cermat. Terlebih pada situasi sosial politik di Indonesia saat ini. Karena sekecil apapun sebuah kata dan perilaku bisa menciptakan dampak besar. Pemimpin bisnis ‘haram’ berperilaku impulsif. Apalagi bila perusahaannya sudah go public. Salah ucap sedikit bisa menyebabkan harga saham terjun bebas.
Para profesional kehumasan paham benar soal ini. Kalau kita lihat media sosial pribadi milik Nadiem Gojek atau William Tokopedia itu sangat sepi, bukan berarti dua orang ini tidak gemar bermedsos-ria atau ‘netral’ dalam politik. Tapi mereka dibatasi — atau mungkin dilarang — oleh humas perusahaan atau investor. Karena selip sedikit bisa ribut. Kalau ribut, dampaknya bukan hanya ke Nadiem atau William, tapi ke seluruh rantai perusahaan: user, vendor, mitra, distributor, karyawan, investor, dll. Dunia kehumasan biasa menyebutnya sebagai communication crisis.
Sudah banyak contoh selip lidah atau jari seorang pemimpin bisnis yang berdampak besar pada usaha. Travis Kalanick founder dan (eks) CEO Uber contohnya. Ia pernah beberapa kali mengucapkan hal-hal sexist di media sosialnya yang berdampak pada gerakan #DeleteUber.
PERILAKU FOUNDER DI MEDIA SOSIAL
Founder adalah orang pertama yang mengadvokasi produk, merek, dan perusahaannya secara terbuka kepada publik. Seorang founder harus mampu meyakinkan banyak orang: calon konsumen, pelanggan, investor, distributor, hingga karyawan. Founder selalu berasosiasi lekat dengan perusahaan dan merek yang sedang ia bangun. Namun, tidak sedikit founder yang berperilaku tidak relevan di ruang publik — terutama media sosial.
Alih-alih mengadvokasi perusahaan dan mereknya, founder justru lebih banyak mengekspresikan hal-hal yang tak relevan pada bisnis yang sedang ia bangun. Bahkan mengekspresikan sesuatu yang rentan, misalnya tema politik, yang tidak jelas apa konteks hubungan politik tersebut dengan bisnisnya. Mayoritas yang melakukannya hanya karena dorongan impuls. Founder atau pemimpin bisnis semacam ini abai pada tanggungjawabnya kepada orang-orang yang harus ia prioritaskan dan lindungi: konsumen, karyawan, investor, distributor, dll.
***
Zaky Bukalapak tentu bukan orang bodoh — tak ada orang bodoh yang mampu membangun Unicorn. Tapi Zaki tetap seorang manusia yang bisa silap. Bukan salah karena mengekspresikan pemikirannya di ruang publik. Namun terpeleset oleh impuls yang mendorongnya untuk bertindak kontra produktif terhadap bisnis yang sedang ia bangun. Yakinlah bahwa Zaky telah belajar banyak dari #UninstallBukalapak kemarin.
Tugas pertama founder atau pemimpin bisnis selamanya adalah melindungi orang-orang yang ia naungi dari segala bentuk ancaman. Dan ancaman terbesar itu adalah dirinya sendiri. (*)
[vc_btn title=”DAFTAR. DAPAT GRATIS 6 KELAS” color=”danger” align=”center” button_block=”true” link=”url:%23login|||” el_class=”logintrig”]