Memulai dan mengelola usaha rintisan selalu menjadi momen yang berat. Tak hanya mesti berjuang menghadapi berbagai ketidakpastian, namun juga godaan akan keuntungan jangka pendek dan hasil yang instant. Mereka dengan memiliki motif yang minim dan komitmen yang rendah akan membayarnya dengan potensi jangka panjang yang mereka miliki.
Kemarin pagi ponsel saya berdering. Seorang wanita memperkenalkan diri sebagai konsultan sebuah firma multinasional bidang HR recruitment berinisial RW. Ia menawarkan posisi sebagai Head Data sebuah perusahaan multinasional yang sedang menjadi kliennya. Saya tidak bertanya perusahaan apa. Tapi tak mungkin perusahaan ecek-ecek punya head data.
Tak perlu berpikir untuk menjawab, “Maaf, saya tidak available.”
Si konsultan tidak menyerah. Ia menyebut betapa menariknya benefit yang kliennya sediakan. Saya kukuh menolak. Hingga ia bertanya alasannya.
“Saya sedang fokus pada startup saya. Saya sudah berjanji pada banyak orang,” jawab saya. Ia mahfum. Setelah basa-basi sedikit kami mengakhiri percakapan.
Ini bukan tawaran pertama sejak saya memulai Arkademi September 2017 lalu. Mungkin bukan juga yang terakhir. Mulai dari tawaran berkarier, project, hingga berpartner usaha. Ketika Arkademi masuk ke tahap komersialnya 15 Desember 2017, ini adalah ‘point of no return’ bagi saya. Tak ada lagi jalan kembali. Di titik yang sama pula saya resign dari tempat dimana saya sudah bekerja selama 11 tahun dengan posisi terakhir sebagai Direktur Bisnis. Social Lab, startup saya yang sedang tumbuh selama 2 tahun terakhir, saya tutup. Semua demi Arkademi.
Akan setimpal kah semua pengorbanan itu?
Saya tidak tahu. Arkademi masih bayi, ada begitu banyak ketidakpastian di sekelilingnya. Saya masih bekerja sendirian dari tempat yang jauh. Tak ada yang bilang Arkademi pasti sukses. Samudera di depan terhampar tanpa diketahui apa yang berada di balik horison — segala baik dan buruknya.
Lalu, apa yang membuat seseorang mengorbankan begitu banyak kepastian demi ketidakpastian?
Perusahaan dan orang-orang besar adalah mereka yang bekerja untuk tujuan yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Orang yang bekerja dengan motif yang sempit akan segera kehabisan motivasi dan limbung dalam kekosongan.
Motivasi kerja seorang bujangan beda dengan mereka yang sudah punya anak-istri. Pejabat yang hanya bekerja untuk penghasilan akan mudah digoda korupsi. Seseorang yang menjadi tentara hanya demi mencari nafkah akan berpikir seribu kali untuk maju menyerang paling depan. Pengusaha yang hanya mencari kekayaan akan menghalalkan cara apapun untuk menambah keuntungan.
Mampukah uang menggerakkan seorang petugas Palang Merah menghadapi maut di medan perang dan bencana?
Apakah para pelaut rela mengarungi gelombang hanya demi uang, dan bukannya kecintaan pada samudera?
Dunia ini menawarkan begitu banyak cara menghasilkan uang. Namun uang sebenarnya tak pernah menjadi tujuan. Uang adalah hasil jangka pendek sebagai insentif atas keputusan jangka pendek pula. Tujuan jangka panjang tidak diukur menggunakan metrik uang, tapi melalui dampak yang kita hipotesiskan di awal (theory of change).
Bila bukan uang, lalu apa yang membuat pengorbanan menjadi setimpal?
Harapan yang lebih besar dari diri kita sendiri yang terbit karena janji kita kepada orang lain. Hal-hal yang justru tak bisa diukur dengan uang.
Beberapa minggu lalu saya ngobrol dengan seorang kawan di FB. Ia seorang tukang servis elektronik keliling di Jawa Tengah yang sedang mengikuti sebuah kelas di Arkademi.
Dia menyampaikan, “Saya ingin berkembang, Pak. Tidak mau jadi kuli terus. Saya mengambil kelas ini supaya kalau tenaga saya sudah lemah, saya bisa terus dapat penghasilan.”
Beberapa mentor di Arkademi dengan terbuka curhat kepada saya tentang harapannya mewujudkan kesejahteraan yang lebih baik lewat mengajar di Arkademi. Bahkan menyebut Arkademi adalah sesuatu yang mereka tunggu sejak lama agar bisa mendapatkan kesempatan mengajar dan menciptakan penghasilan dari sana.
Bisakah anda bayangkan tanggungjawab yang mesti saya pikul untuk merawat harapan orang-orang ini?
Berapa rupiah tebusan yang dibutuhkan agar saya meninggalkan harapan mereka dan beralih pada yang lain?
Setiap orang yang memiliki usaha adalah mereka yang berjanji dan menanggung harapan orang banyak. Janji kepada para karyawan untuk mencukupi nafkah mereka dan mewujudkan masa depan yang baik. Janji kepada pelanggan untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah mereka. Janji kepada masyarakat bahwa kehadiran usaha kita akan memberi manfaat bagi orang banyak. Janji kepada keluarga untuk hidup yang lebih baik.
Segala janji yang sebenarnya tak pernah soal diri kita sendiri. Janji yang menerbitkan harapan pada diri orang lain dimana kita punya tanggungjawab untuk merawatnya. Janji yang sudah dimulai ketika pertama kali kita melangkah.
Anda sebagai pelaku usaha rintisan pastilah juga menanggung janji dan harapan yang serupa. Sangat mungkin juga anda digoda oleh berbagai tawaran yang menjanjikan hasil yang lebih baik dan cepat. Menggoda anda untuk meninggalkan janji dan harapan orang lain yang sedang anda pikul.
Itulah momen ketika motto, visi dan misi usaha kita diuji: apakah ia sebatas retorika, ataukah cerminan sikap, komitmen, dan karakter pemiliknya. (*)
[vc_btn title=”DAFTAR. DAPAT GRATIS 5 KELAS” color=”danger” align=”center” css_animation=”flipInX” button_block=”true” link=”url:%23login|||” el_class=”logintrig”]