Setiap pelaku usaha ingin membuat produk seunik mungkin agar bisa menghasilkan margin besar dari sana. Tapi, tidak penting seberapa unik produk itu menurut kita. Melainkan seberapa unik produk tersebut di benak konsumen dan mereka rela membayar lebih demi keunikan itu.
Saat masih kuliah dulu saya dan seorang kawan pengusaha advertising di Jogja pernah ikut lelang pengadaan patung mika wisuda yang diadakan salah satu perguruan tinggi. Saat presentasi, 4 calon vendor lain juga ada di sana. Masing-masing mendemonstrasikan kehebatan patung mika mereka — yang sebenarnya hampir sama saja.
Salah satu vendor maju. Bapak-bapak. Langsung membanting patung mikanya dengan kuat ke lantai. Semuanya kaget. Tambah kaget lagi ketika patung mikanya tidak pecah. Ia tersenyum sinis kepada vendor lain dan menegaskan kepada panitia lelang bahwa patung miliknyalah yang paling kuat. Dia benar, sih. Patung kami kalau dibanting begitu pasti pecah. Langsung pesimis menang lelang.
Dua minggu kemudian hasil lelang diumumkan. Ternyata kami menang! Entah kenapa.
Setelah pekerjaan selesai, saya bertanya kepada salah satu staf pengadaan lelang soal kenapa kami bisa menang.
“Karena kalian yang paling murah,” jawab dia.
Lha, bukannya meski harga si bapak tadi lebih mahal tapi lebih kuat?
“Nggak butuh kuat. Butuh murah,” tukasnya.
Daftar Isi
PERBEDAAN YANG TAK DIBELI
Strategi bersaing secara umum ada 3: murah, berbeda, ceruk.
Usaha-usaha langgeng yang kita kenal pada umumnya adalah mereka yang berhasil menjual produk berbeda atau diferensiasi. Karena mereka yang berhasil di strategi ini bisa menetapkan margin (sangat) tinggi. Untuk berkembang, usaha perlu margin yang baik.
Penjual nasi kuning favorit saya sudah berjualan selama 50 tahun lebih. Harganya Rp 27.000 dengan ukuran porsi yang makin lama makin mengerucut. Harganya naik terus. Suka-suka yang jual kayaknya (padahal masih kerabat keluarga). Semahal apapun orang juga tetap antre. Meski yang jual judes. Mau bagaimana lagi… enak sih!
Diferensiasi utama dan paling umum usaha kuliner adalah enak. Bukan cuma enak. Tapi enak yang dijual kepada orang yang tepat dan rela menebusnya dengan sejumlah uang (yang tidak sedikit).
Bagaimana dengan usaha lain?
Kisah saya di atas soal mika tahan banting mencerminkan 2 kesalahan umum yang biasa dilakukan oleh pelaku usaha produk diferensiasi. Pertama, membuat perbedaan yang tidak dibutuhkan yang orang tidak mau membayarnya. Kedua, menjual perbedaan itu bukan kepada orang yang tepat.
Membuat mika tahan banting itu jelas diferensiasi. Dan menciptakan diferensiasi pasti menimbulkan biaya. Sayangnya, user atau penyelenggara lelang tidak butuh yang tahan banting. Sehingga diferensiasi tahan banting itu tidak ada gunanya. Orang tidak rela keluar uang lebih demi patung mika tahan banting.
Ini bukan berarti yang murah pasti menang. Kalau ada penjual nasi kuning Rp 10.000 di samping yang Rp 27.000 tadi, saya yakin yang Rp 10.000 bakal tutup sebelum 1 bulan.
Pelaku usaha selalu ingin dapat margin besar. Margin besar bisa didapat bila barangnya bagus. Karena katanya, barang bagus sewajarnya mahal. Jadi kita selalu bilang, “Barang saya bagus!”.
Tapi,
- Apakah ‘bagusmu’ itu dibutuhkan konsumen?
- Apakah ‘bagusmu’ menyelesaikan masalah konsumen?
- Apakah konsumen rela keluar uang lebih demi ‘bagusmu’ itu?
- Apakah ‘bagusmu’ ditawarkan kepada konsumen yang tepat?
Kita melihat begitu banyak produk bagus di sekeliling kita. Tapi belum tentu kita mau membelinya. Entah itu karena kita tak membutuhkannya, tidak menyelesaikan masalah yang penting, atau kita tidak punya cukup uang untuk membelinya.
Umumnya orang bilang iPhone itu bagus. iPhone bisa dijual kepada mereka yang ‘punya masalah’ dengan gengsi atau pengakuan sosial. iPhone berhasil memberikan sesuatu yang dibutuhkan oleh orang-orang yang ‘punya masalah’ gengsi. Tapi iPhone tidak bisa dijual kepada orang yang masih bermasalah dengan makan apa besok.
Siapapun yang menggunakan strategi diferensiasi, harusnya tidak bertanya, “Apakah menurut anda produk saya bagus?”. Namun tanyakanlah: “Apakah anda butuh produk saya?”, dan, “Apakah anda bersedia membayar untuk produk ini?”.
Kuncinya adalah pertanyaan terakhir, disebut juga sebagai purchase intent atau keinginan orang untuk membeli. Karena kalau yang ditanya sekadar ‘bagus’ atau ‘butuh’, jawaban yang terdengar baik pun bisa menyesatkan. Orang cenderung menghindari konflik dan menjaga perasaan orang lain dengan cara berbohong. Bisa juga mereka menjawab ‘bagus’ dan ‘butuh’ tapi tidak mau membeli dengan berbagai alasan.
Kalau konsumen menjawab harganya terlalu mahal, kemungkinan besar diferensiasi yang anda tanam dalam produk nilainya memang tidak tinggi. Baik kurang bernilai dalam menyelesaikan masalah penting, atau nilai yang tidak terlalu dibutuhkan. Atau bisa juga menyasar segmen yang salah.
Segmen yang salah bahkan bisa ‘membunuh’ kita. Ini banyak terjadi pada usaha kafe. Tempat didesain begitu indahnya dan makanan disajikan berkelas. Semua diferensiasi ini butuh biaya. Tapi yang disasar kalangan mahasiswa. Maka mahasiswa datang berombongan. Duduk 5 pesan 1. Yang paling murah pula. Nongkrong berjam-jam. Sirkulasi jadi macet. Belum setahun tutup.
Bila anda berniat membuat dan menjual produk diferensiasi, perhatikan hal-hal di bawah ini.
1. NON-FUNGSIONAL
Bila nilai utama produk anda terletak pada fungsinya, itu bukan produk diferensiasi. Karena fungsi bisa disubstitusikan secara cepat dengan produk lain. Fungsi sangat mungkin homogen — sama, serupa, mirip — dengan yang lain. Fungsi adalah nilai bagi mereka yang menggunakan strategi harga murah (cost leadership).
Contoh: bila nasi kuning Rp 27.000 rasanya kurang-lebih saja dengan yang Rp 10.000, maka keduanya akhirnya punya segmen konsumen yang sama: konsumen yang tujuannya asal makan nasi kuning. Maka yang Rp 27.000 kalah.
2. KONSUMEN TIDAK SENSITIF HARGA
Menciptakan nilai diferensiasi itu perlu biaya. Akibatnya biaya produksi naik dan harga jadi tidak bisa lebih murah. Maka kita harus menyasar segmen konsumen yang tidak sensitif harga. Jelas kalangan menengah-bawah bukan pilihan. Segmen sensitif harga membutuhkan barang yang nilai utamanya pada fungsi, bukan diferensiasi. Sementara nilai utama produk kita bukan fungsi.
Maka diferensiasi kita mesti disesuaikan dengan masalah yang perlu dipecahkan atau apa yang dibutuhkan oleh segmen tidak sensitif harga. Mereka ini kalangan yang punya standar tinggi. Sehingga kita mesti menyediakan produk diferensiasi yang nilai di luar fungsinya sangat kuat dan sesuai dengan yang mereka butuhkan.
3. PERBEDAAN YANG DIBAYAR
Yang berbeda itu banyak. Setiap perbedaan punya nilai. Tapi tidak semua perbedaan itu berharga — membuat orang rela membayarnya. Orang hanya mau membayar sesuatu yang relevan dengannya.
Diferensiasi yang dibeli itu tampak mencolok di bandara. Di antara banyak tempat nongkrong, biasanya ada 1 yang paling ramai: yang menyediakan smoking area. Padahal masuk ke situ ada minimum charge yang tinggi dan cuma dapat 1 cangkir kopi yang tidak enak. Tapi yang dicari bukan kopinya. Orang rela membayar mahal demi bisa ngerokok. Rokok 2 batang harganya mungkin cuma Rp 4.000. Tapi untuk bisa merokok, harus bayar minimal Rp 50.000.
Jadi, buatlah diferensiasi anda itu berharga, tak sekadar bernilai. Agar ia berharga, maka anda harus menyediakan diferensiasi yang memecahkan masalah penting dan memenuhi kebutuhan segmen konsumen tidak sensitif harga.
4. BRAND KUAT
Kecuali anda berada di pasar monopoli atau oligopoli, anda tidak bisa tiba-tiba datang ke seseorang, menawarkan produk baru berharga tidak murah, dan berharap mereka langsung membelinya. Mereka perlu percaya dulu kepada brand usaha, atau diri anda. Sedangkan brand — baik business brand dan personal brand — tidak dibangun dalam satu-dua hari.
Jadi bila anda menjual produk diferensiasi di masa awal kepada orang yang belum kenal brand anda, maka tujuan utama bukanlah keuntungan. Tapi agar anda dapat kesempatan untuk menunjukkan nilai perbedaan tersebut kepada konsumen awal dan menciptakan brand recognition (pengakuan).
5. PELAYANAN STANDAR TINGGI
“Saya sudah bayar mahal, tapi pelayanannya kok begini?”
Kita sering mendengar komplain seperti itu. Dan itu komplain khas konsumen menengah ke atas yang tidak sensitif harga yang mengonsumsi produk diferensiasi. Konsumen ini punya standar tinggi pada kualitas layanan dan sangat penuntut. Mereka ingin jadi raja dan rela bayar lebih salah satunya demi diperlakukan sebagai raja. Maka perlakukanlah mereka bak raja. Kalau tidak pandai membuat orang lain senang dan merasa menang, sebaiknya tidak menjual produk diferensiasi.
Lihatlah perbedaan pelayanan hotel bintang 5 dengan hotel melati. Atau layanan seorang sales mobil mewah dengan sales sepeda motor.
6. EFEK EMOSI
Saya membeli nasi kuning Rp 27.000 bukan hanya karena enak. Tapi ada memori indah di sana. Waktu SD tiap hari minggu saya bersepeda sejauh 8 km karena disuruh ibu membeli nasi kuning itu. Mengantre sejak jam 6 subuh ketika dia baru buka jam 7. Menunggu dilayani hampir 1 jam. Itu semua memori masa kecil yang indah. Emosi yang terpaut pada memori itulah yang membuat saya selalu kembali membeli. Karena ada bagian masa lalu yang saya rindukan pada nasi kuning itu. Seberapapun enak nasi kuning lain tidak akan bisa memberi efek emosi yang sama. Bahkan dijudesin pun rela dan saya anggap bagian dari keindahan masa kecil.
Kata istri saya yang belum lama tinggal di Balikpapan, nasi kuning lain lebih enak. Tapi menurut saya tidak. Apakah ada efek emosi yang mempengaruhi alam bawah sadar saya sehingga menilai nasi kuning tadi lebih enak dibanding yang lain? Mungkin saja!
Efek emosi ini bisa berupa kebahagiaan, kebanggaan, kemenangan, kenangan, atau impian. Sayangnya tidak ada cara mekanis untuk menciptakan efek ini. Tidak bisa ‘if-then’.
Sekadar memberi layanan berstandar tinggi yang membuat orang senang tidak bisa dianggap cara memberikan efek emosi. Karena ini by default. Konsumen bayar lebih memang demi mendapatkan layanan tinggi tersebut. Efek emosi lebih sebagai ‘hadiah’ dan priceless (tidak bisa dinilai dengan harga). Seseorang bisa membeli kesenangan, tapi tidak dengan kebahagiaan. Namun tugas kita sebagai penyedia produk diferensiasi mesti mampu memberikan kebahagiaan itu.
Banyak orang rela masuk smoking area membayar Rp 50.000 untuk menghisap rokok seharga Rp 2.000 yang tidak ada manfaatnya (atau merugikan diri sendiri). Karena ada kebutuhan emosi atau psikis yang perlu dipuaskan oleh si perokok. Meski semuanya ini tidak masuk akal (bagi yang bukan perokok).
7. AHLI
Banyak penyedia produk diferensiasi yang banyak bisanya. Akhirnya tidak terlalu bisa apapun. Penyedia produk diferensiasi perlu ahli dan fokus pada spesialisasi. Karena mereka perlu memahami dengan sangat baik bagaimana produk bisa serasi (fit) dengan ekspektasi tinggi konsumen. Dan ini perlu upaya, energi, dan waktu yang tidak sebentar. Setiap produk punya segmen konsumen masing-masing. Tiap segmen konsumen harus dipelajari perilakunya. Makin banyak produk diferensiasi yang anda miliki, anda makin kehilanghan fokus dan mesti mengalokasikan upaya sangat besar untuk seluruh produk.
Nasi kuning tadi dari zaman PKI sampai zaman virtual reality jualannya cuma 2: nasi kuning dan lontong sayur. Thok! Lauknya cuma: telur pindang, ikan bumbubali, dan ayam kare. Keluarganya sudah kaya raya sampai anak cucu. Tapi jualannya tetap 2 itu saja. Warungnya juga begitu-begitu saja.
Kalau kita ini kan banyak maunya dan banyak bisanya. Kalau bisa bikin produk 10, kenapa cuma bikin 1? Akhirnya tak ada 1 pun yang terjual.
8. CITRA YANG KONSISTEN
Menjaga dan memelihara itu jauh lebih sulit dibanding membuat. Anda sebagai pembuat produk sangat terikat secara emosional kepada produk yang anda buat dan konsumen awal. Anda akan sangat menyayangi keduanya dan memperhatikan mereka sungguh-sungguh. Sehingga anda dan produk anda berhasil meraih citra yang prima.
Tapi ketika usaha anda berkembang, makin banyak orang terlibat di internal. Karyawan misalnya. Mereka ini adalah orang-orang yang tak memiliki pengalaman emosional yang sama dengan anda. Tidak memiliki kasih sayang yang sama seperti anda mencintai produk dan konsumen. Mereka mungkin hanya cinta pada uang yang anda berikan tiap akhir bulan bernama upah. Sementara, hampir mustahil kita bisa memberikan layanan yang mampu memberikan efek emosi kepada pelanggan tanpa ada gerakan dari hati. Akhirnya, makin berkembang usaha anda, makin rentan pula citra anda jatuh.
Atau, ketika anda memasak sendiri, semua konsumen memuji. Tapi saat restoran berkembang dan anda harus mempekerjakan beberapa karyawan di dapur, konsumen mulai mengeluh rasa berubah. Akhirnya citra yang dibangun berdarah-darah menjadi tak berarti justru karena usaha sedang bagus-bagusnya.
Untuk menjaga konsistensi citra diperlukan berkembang bertahap secara internal. Tidak bisa langsung melompat seberapapun suksesnya anda. Karena prinsip, kultur, business process, emosi, dan pengalaman anda perlu ditanamkan denan kuat anggota tim baru (karyawan). Ini bukan persoalan gampang. Makin banyak karyawan yang perlu anda garap, makin anda kehilangan fokus.
***
Setiap produk yang sukses selalu berhasil menanamkan satu citra ke benak konsumen. Satu saja. Produk diferensiasi wajib memiliki satu citra ini. Maka pikirkanlah citra apa yang hendak anda tanamkan ke benak konsumen, fokuslah di sana, dan pastikan orang mau membayar apa yang membuat anda berbeda. (*)