“Mbak, ini sudah ada tiga orang yang kirim email resign minggu ini.” Pesan itu muncul di layar ponsel Lala, HR Manager di sebuah perusahaan teknologi di Jakarta. Di kalender, tanggal menunjukkan akhir November 2025. Di grup HR, teman-temannya juga bercerita hal serupa: akhir tahun lagi-lagi jadi musim resign.
Data ternyata mendukung cerita itu. Menurut laporan Gallup yang dirangkum GoodStats, 52% pekerja Indonesia mengaku aktif mencari pekerjaan baru. Angka ini termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara. Di sisi lain, survei LinkedIn yang dikutip berbagai media menunjukkan 7 dari 10 profesional Indonesia berencana pindah kerja di 2025. Tidak heran kalau akhir tahun terasa seperti gelombang resign yang datang bergantian.
Kalau Arkawan HR juga merasakan hal serupa email resign yang masuk menjelang tutup tahun artikel ini akan membantu melihat kenapa gelombang resign ini terjadi dan apa yang bisa HR lakukan untuk menjaga talenta kunci.
Mengapa Akhir Tahun Jadi Musim Resign?
Lala menyadari, resign di akhir tahun bukan sekadar kebetulan. Ada beberapa pola yang berulang:
- Refleksi akhir tahun
Banyak karyawan mengevaluasi: “Mau lanjut di sini atau coba tempat baru tahun depan?”. Ketika melihat gaji, beban kerja, dan peluang karier tidak seimbang, mereka memilih pindah. - Momen setelah bonus dan penilaian kinerja
Setelah bonus dan penilaian dibagikan, sebagian karyawan merasa saat itulah waktu yang tepat untuk keluar. Mereka tidak meninggalkan bonus di atas meja, tetapi tidak ingin mengulang satu tahun lagi dengan kondisi yang sama. - Pasar kerja yang lebih aktif
Survei GoodStats dan berbagai laporan lain menunjukkan minat pindah kerja di Indonesia memang tinggi. Perusahaan juga banyak membuka lowongan untuk mengamankan talenta di awal tahun. - Tekanan perubahan teknologi dan model kerja
Adaptasi teknologi baru, terutama AI, membuat sebagian karyawan merasa posisinya terancam atau ingin mencari tempat yang lebih siap mendukung pengembangan skill mereka.
Bagi HR, ini berarti akhir tahun bukan hanya waktu menutup buku, tetapi juga saat kritis untuk menjaga karyawan terbaik agar tidak ikut tersapu gelombang resign.
Sinyal Dini: Tanda-Tanda Tim Sedang Mengalami Gelombang Resign
Sebelum email resign resmi masuk, biasanya ada beberapa sinyal yang bisa ditangkap HR dan atasan langsung:
- Karyawan mulai sering membuka diskusi soal gaji, promosi, atau beban kerja tanpa ada tindak lanjut yang jelas.
- Aktivitas di LinkedIn meningkat: mereka rajin update profil, ikut webinar karier, atau mulai aktif berkomentar di postingan recruiter.
- Mereka terlihat kurang terlibat di meeting, menunda proyek jangka panjang, dan lebih fokus menyelesaikan hal minimum.
- Muncul komentar sinis tentang arah perusahaan, manajemen, atau fairness dalam tim.
Lala mulai meminta para atasan tim untuk memperhatikan sinyal-sinyal ini. Bukan untuk mengawasi secara berlebihan, tetapi agar bisa mengajak bicara lebih awal sebelum keputusan resign benar-benar bulat.
Strategi HR Menghadapi Gelombang Resign Akhir Tahun
Lala tahu, tidak realistis kalau perusahaan ingin nol resign. Tapi ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi kehilangan talenta kunci dan memastikan proses pergantian berjalan lebih terukur.
1. Petakan Talenta Kritis dan Posisi Rawat Inap
Langkah pertama Lala adalah duduk bersama masing-masing Head of Department untuk menjawab dua pertanyaan:
- Siapa saja talenta kunci yang dampaknya besar kalau mereka resign?
- Posisi mana yang kalau kosong akan membuat bisnis terganggu serius?
Dari situ, ia membuat daftar prioritas dan memastikan orang-orang di kategori ini mendapat perhatian khusus: check-in lebih sering, jalur komunikasi terbuka, dan rencana pengembangan yang jelas.
2. Lakukan “Retention Conversation” Sebelum Terlambat
Alih-alih menunggu surat resign, Lala mengatur sesi one-on-one dengan beberapa karyawan kunci. Pertanyaan yang ia pakai sederhana:
- Apa yang paling membuat kamu betah di sini?
- Apa yang paling membuat kamu ragu untuk bertahan?
- Kalau ada satu hal yang bisa kita perbaiki dalam 3 bulan ke depan, itu apa?
Percakapan seperti ini sering membuka insight yang tidak muncul di survei engagement.
3. Transparan soal Arah Bisnis, Gaji, dan Karier
Gelombang resign sering muncul saat karyawan merasa masa depan perusahaan kabur. Maka, Lala mendorong manajemen untuk:
- Mengadakan town hall akhir tahun yang menjelaskan kondisi bisnis dan rencana 2026.
- Menjelaskan prinsip kenaikan gaji dan promosi, bahkan jika budget terbatas.
- Menawarkan jalur karier alternatif, misalnya rotasi ke divisi lain.
Keterbukaan tidak selalu membuat semua orang bertahan, tetapi mengurangi resign karena salah paham.
4. Perkuat Employee Wellbeing, Bukan Hanya Gaji
Laporan State of the Global Workplace 2024 yang dirangkum beberapa media menunjukkan bahwa keinginan resign tidak hanya dipicu gaji, tetapi juga beban kerja, budaya kerja, dan keseimbangan hidup.
Lala mulai mengusulkan beberapa hal sederhana:
- Aturan meeting yang lebih sehat (jam tertentu bebas meeting).
- Fleksibilitas jam atau lokasi kerja untuk role yang memungkinkan.
- Program dukungan psikologis atau konseling online sederhana.
5. Jadikan Exit Interview Sumber Belajar, Bukan Formalitas
Ketika tetap ada karyawan yang resign, Lala memastikan exit interview dilakukan dengan serius:
- Menanyakan alasan utama dan alasan kedua mereka keluar.
- Membedakan faktor yang bisa dikontrol perusahaan dan yang tidak.
- Mencari pola: apakah ada masalah di satu tim, satu atasan, atau satu kebijakan tertentu.
Dari situ, ia menyusun ringkasan insight untuk manajemen—bukan sekadar “karena dapat gaji lebih besar”.
Peran Data dan AI: Menjaga Talenta di Tengah Gelombang Resign
Dalam beberapa tahun terakhir, HR seperti Lala mulai terbantu dengan adanya HR analytics dan AI. Bukan untuk menggantikan intuisi, tetapi untuk memberi peta yang lebih jelas.
Dengan bantuan platform seperti LUNA AI, HR bisa:
- Melihat pola kandidat dan karyawan berdasarkan skill, performa, dan potensi.
- Mengidentifikasi posisi yang paling sulit digantikan jika terjadi resign.
- Menghubungkan data rekrutmen dengan program pelatihan Arkademi sehingga talenta kunci punya jalur pengembangan yang jelas.
Ketika gelombang resign datang, perusahaan yang punya data seperti ini akan lebih siap: tahu siapa yang harus dijaga, posisi mana yang harus segera diisi, dan kompetensi apa yang perlu diperkaya dari internal.
Penutup: Gelombang Resign Tidak Bisa Dihentikan, Tapi Bisa Dikelola
Akhir tahun 2025 mungkin akan tetap diwarnai email resign yang masuk satu per satu. Itu bagian normal dari dinamika dunia kerja. Namun, Arkawan tidak harus pasrah.
Seperti yang dilakukan Lala, HR bisa:
- Memetakan talenta kunci dan posisi kritis.
- Melakukan percakapan retensi sebelum terlambat.
- Lebih transparan soal gaji, karier, dan kondisi bisnis.
- Memperkuat wellbeing dan budaya kerja yang sehat.
- Menggunakan data dan teknologi untuk mengambil keputusan yang lebih jernih.
Jika Arkawan ingin mulai membangun fondasi data talenta yang lebih kuat mulai dari rekrutmen, retensi, sampai pengembangan Arkawan bisa mencoba LUNA AI dalam satu siklus rekrutmen terlebih dahulu.